61. Dila Kecil.

10 0 0
                                    




Abi segera memberikan dadanya untuk Fatim. Tangannya perlahan mengelus punggungnya. Mata tajam itu membidik mata Rian yang sayu.

"Pergi lo," titahnya dengan suara basnya. Rian berjalan gontai, pergi dari lapak ini.

Fatim dibopongnya, untuk duduk di kursi bakso. Matanya bertanya-tanya, ada apa dengan gadis yang menunjukan pelangi di hidupnya.

"Lo mau apa?" tanyanya, dengan suara santainya.

Fatim menarik napas lalu membuangnya. "Gue pengen balik, tapi---." Fatim menghentikan ucapannnya.

"Apa?"

"Gue harus tetep jualan, kalo gak, gue gak bisa kuliah lagi," jujurnya, wajahnya terlihat murung sekali.

"Ya udah, lo balik aja, biar gue yang jualan," tawarnya dengan wajah datar.

Sontak Fatim menolehnya dengan mata terbelalak tak percaya, seorang Abi berkata seperti itu. "Seriusan lo?" tanyanya.

"Lebay lo, ah." Abi mengusap wajah gadis yang matanya merah.

"Iiiih," cicitnya, menepis segera tangan Abi.

Ring ring ring.

"Halo?"

"Di mana lo?"

"Jualan."

"Sini lo."

"Lah, ngape gue ke sono? Gue udah kagek ade urusan lagi ame lo padaan."

"Ini ada urusannya sama lo, Kambing."

"Ih, si Anjing. Mau lo apaan sih?" Mata Fatim nampak emosi.

"Cepet."

Nut nut nut.

Fatim menatap layar ponselnya dengan jarak 50 cm meter dari wajahnya. "Ih, gaje banget lo!" cercanya geram.

Abi mencomot ponselnya. Matanya melihat nama kontak 'Vian'. Mata Abi meliriknya. "Siapa dia?" tanyanya dengan wajah dingin.

"Laki temen gue," sahutnya manyun.

"Ngapain dia?"

"Ih, kepo amat lo. Sejak kapan lo peduli ama urusan gue?" kesal Fatim, sedikit menaikan wajahnya.

Tangan Abi menyerang tengkuk Fatim, menariknya, lalu menempelkan bibirnya di bibir Fatim. Sejenak Abi melumat bibir tipis itu, lalu melepasnya.

"Sekarang lo pacar gue. Gak ada penolakan," tegasnya, yang menatap ke dalam mata Fatim.

Fatim terkaku, pikirannya langsung menuju ke kejadian di mana ia terbangun dengan Rian di dadanya.

Abi berdiri, tangannya sedikit mendorong bahu gadis itu. "Pergi lo, gue mau jualan," titahnya, berjalan lalu duduk di depan gerobak.

Fatim dengan wajah murungnya, berjalan menjauhi lapaknya. Ia mencari angkot, untuk pergi ke rumah Vivi. Ya, gadis pertama itu bernama Vivi. Sangat cocok dengan Vian.

Dikabarkan, dia telah menikah lagi dengan Vivi. Emang dasar nih si Vian. Tak lama Fatim turun di depan rumah Vivi.

Matanya mendongak, menatap rumah mewah ini. Kakinya perlahan masuk ke dalam.

Ting tong.

Telunjuknya menekan bel.

1 menit kemudian keluarlah asisten rumah besar ini.

"Non Fatim, ya?" tanyanya ramah.

"Kagek usah pake Non. Fatim aja," tolaknya, tak suka dipanggil Non.

"Iya deh. Ayo masuk." Mba itu mengajaknya ke dalam.

Di dalam, sudah terdapat keluarga bahagia, tanpa hambatan.

"Sini lo." Vian menariknya, lalu mendudukannya di kursi yang menghadap mereka.

Dengan gugup ia duduk. "Mon map neh. Ade ape ye?" tanyanya dengan ngengeh.

"Saya mau kamu urus anak ini," ucap papa Vivi dengan penuh penekanan.

"Iya, aku gak mau rawat anak ini," tambah Vivi yang tengah menggendong bayinya.

"Saya gak sudi ada anak orang lain di rumah ini," sambung mamanya, sombong.

Vian hanya menatap Fatim dengan wajah bingung. Bagiamana tidak, kan itu adalah anaknya dengan Dila. Walaupun ia tak mencintainya, tapi itu adalah darah dagingnya. Karena kecintaannya pada Vivi, ia melakukan apa yang Vivi inginkan.

"Kok aye? Aye masih kuliah," dalihnya.

"Kamu kan miskin, mana mampu kuliah?" sinis mamanya.

"Udah, kamu berenti kuliah, terus asuh anak ini. Saya akan kasih biaya untuk anak ini," timpal papanya.

Diam.

"Gak usah nolak. Saya sudah berbaik hati memberikan biaya untuk anak ini," sambung papanya, sesaat berhenti sejenak.

"Ta-tapi--"

"Gak ada tapi-tapi. Ambil nih." Mamanya menyodorkan bayi itu dengan cepat, tanpa jeda. Fatim pun mau tidak mau menggendong bayi kecil ini. Jika tidak, pasti bayi ini akan jatuh, secara mamanya langsung melepaskan gendongannya.

"O-om?" Fatim memanggil papa Vivi. Namun mamanya segera mendorongnya, dengan amplop coklat yang tebal ke dadanya.

Vivi melirik suaminya, memberikan isyarat, untuk segera mengeluarkannya dari rumah indahnya.

Vian pun berdiri, menggiring Fatim untuk segera pergi dari rumah ini.

"Vian, lo gile? Gue kagek bise rawat nih bocah," akunya, saat sudah di depan rumah.

"Maaf, Tim. Gue juga gak bisa rawat dia. Gue terlalu sayang sama Vivi," sahutnya layu. Wajahnya menunjukan penyesalan yang mendalam. Kasihan melihat anaknya diperlakukan seperti ini oleh mertuanya.

Vian mencium kening bayinya yang digendong Fatim. "Sayang, maafin papa ya. Karena papa kamu jadi terlantar seperti ini. Jangan khawatir ya, papa akan sering jenguk kamu di rumah Bunda Fatim," lirihnya dengan mata yang mulai berair.

"Dih." Fatim menarik lehernya.

"Heheh." Vian mendongak, menunjukan giginya.

Ia meluruskan punggungnya, berdiri menghadap Fatim. Tangannya menepuk bahu gadis ini. "Gue titip anak gue ya," titipnya, lalu berbalik badan untuk masuk ke dalam rumahnya.

Terlihat dari depan gerbang, seseorang berdiri memperhatikan Fatim dan Vian.

"Bayi? Kenapa dia gendong bayi? Bayi siapa itu?" batin lelaki yang memperhatikan dari kejauhan.

Fatim dengan terpaksa dan pasrah, melangkah meninggalkan rumah besar ini. Padalah rumahnya besar, dan tak begitu banyak orang di dalamnya. Kenapa satu bayi saja mereka tak menginginkannya. Sungguh pelit.

Fatim membawa Dila kecil ke lapaknya, dengan angkot lagi. Ia juga membawa beberapa perlengkapan bayi yang disuguhkan padanya.

Sesampainya di dalam, ia segera duduk dengan bayi di gendongannya. Mata Abi menatap suudzon akan penampakan ini.

Fatim merasa seret di tenggorokannya, ia menoleh ke Abi. "Woy, aer, kek," decitnya, karena sudah sangat kehausan.

"Ambil aja sendiri," sinisnya.

"Bi, please, jangan sekarang. Gue lagi kalut. Tolongin gue kali ini. Katanya gue pacar lo. Tapi lo gak ada kasiannya pisan ama gue," celotehnya.

Tanpa ia sadari, gelas tengah terbang di hadapan matanya. Tangannya pun mengambil gelas itu, lalu meneguknya dengan sekali napas, dan habis seketika.

Abi langsung duduk di depannya, tangannya menyanggah dagunya, dengan siku yang bertumpu di atas meja, tatapannya menatap tajam Fatim, menunggu penjelasan atas ini.

Fatim menarik napas, lalu menceritakan asal muasal terlahirnya bayi imut perempuan ini. Abi menganggung usai mendengar celotehan kekasih paksaannya.

***

Cah Semprul ( Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang