10 - 6: Demi Menebus Penyesalan

184 13 4
                                    

Seperti biasanya, Bonghwan berada di Dapur Istana. Tapi, kali ini dia lebih berkonsentrasi pada selain memasak. Walau bagaimanapun, perkataan Ibu Suri Agung tentang akan memenggal Manbok sangat mengganggu pikirannya. Apalagi Manbok, anehnya, bekerja giat sekali hari ini.

Manbok memikirkan sesuatu tentang kentang, ditanyai ini-itu oleh para pemasak, dimintai saran, memeriksa pekerjaan para pemasak dengan penuh perhatian, bahkan memberi mereka contoh pula mengenai cara memasak yang benar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manbok memikirkan sesuatu tentang kentang, ditanyai ini-itu oleh para pemasak, dimintai saran, memeriksa pekerjaan para pemasak dengan penuh perhatian, bahkan memberi mereka contoh pula mengenai cara memasak yang benar.

Bonghwan menghela, “Aey, tumben. Kenapa rajin betul kau hari ini?”

“Hmh,” Manbok menjelaskan, “Ini karena hidangan dari tarak akan sering diminta ke depannya. Meski begitu, kita tidak boleh membuat anak-anak sapi kelaparan di kandangnya.”

Oh? Dayang Choi terkesima.

“Saya yakin, tanpa tarak sekalipun kita bisa membuat hidangan yang sama.” Manbok percaya, dan … Dayang Choi memuji pemikiran bijaknya itu—dalam diam.

Bonghwan pun semakin iba, dan, “Juru Masak,” panggilnya, dan Manbok menoleh. Entah bagaimana, wajah Manbok kali ini terlihat … amat sedih, lelah, dan penuh beban. Bonghwan bisa dengan mudah menebak bahwa pasti Manbok seorang kepala keluarga yang memiliki banyak tanggungan.

“Kenapa, Yang Mulia?” Manbok bertanya, karena Bonghwan diam saja.

“Ini, periksa apinya,” suruh Bonghwan, tapi tidak setegas dan sekejam biasanya.

Anehnya, tanpa banyak protes, hari ini Manbok menuruti saja setiap perkataan Bonghwan. Dia berjongkok di depan tungku dan, “Huuuf. Huuf,” meniupi api di tungku tersebut dengan sabar.

Bonghwan memerhatikannya dan … rasa iba kembali merayapi. Dia pun, bertanya, “Kalau dipikir-pikir, aku belum tahu namamu. Siapa namamu?”

“Eh? Saya Manbok, Yang Mulia,” jawabnya, biasa saja.

“Kau punya berapa anggota keluarga? Yah, tapi sih, intinya, aku yakin kau punya banyak anak yang harus diberi makan.” Bonghwan menghela, tapi—

“Saya belum menikah, Yang Mulia,” jawab Manbok, sangat tidak masuk akal, hingga Dayang Choi pun melotot—entah berarti apa.

“Huh?” Bonghwan merasa salah dengar.

“Aey, saya … sudah lama hidup bebas sendirian. Aihihihih.” Manbok melirik pada Dayang Choi—yang perlahan memalingkan muka darinya karena ‘takut ketahuan’. Hong Yeon, di antara mereka, agak curiga.

“Tapi … kau pasti punya tanggungan yang harus diberi makan, kan? Pikir, deh, baik-baik.” Bonghwan memaksa; tidak mau rasa ibanya tadi menjadi sia-sia.

Manbok pun berpikir, baik-baik, dan begini katanya, “Kadang saya memberi makan kucing-kucing liar sepulang dari istana.”

“Nah, kan? Benar itu. Kalau kau gak ada, kucing-kucing liar itu pasti akan kelaparan.”

MR. QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang