11 - 2: Door to Door

169 11 1
                                    

“Dokter,” Bonghwan curhat dalam mode ‘konsultasi kepada psikolog atau psikiater’; dengan pakaian ratunya, berbaring terlentang di alas tidur, dan kedua kaki ditempatkan lebih tinggi dari kepala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Dokter,” Bonghwan curhat dalam mode ‘konsultasi kepada psikolog atau psikiater’; dengan pakaian ratunya, berbaring terlentang di alas tidur, dan kedua kaki ditempatkan lebih tinggi dari kepala. Dia berkonsultasi tentang, “Saya bermimpi buruk, tapi … saya bukan takut karena mimpi itu, melainkan … merasa jijik. Saya tidak suka, tapi … suka juga. Saya bingung sekali; apakah ini murni isi hati saya, ataukah isi hati dari tubuh saya. Rasanya … saya seperti dipisah-pisah menjadi berbagai potongan, seperti … lego block, gitu, Dok. Saya jadi … bingung; sebenarnya saya ini siapa?!”

Dan, yang mendengarkan curhatan ngaco Bonghwan itu tidak lain adalah … Tabib Yoon, yang, tentu saja, malah jadi kebingungan karena, “Mm, Yang Mulia, mengapa Anda memanggil saya ‘dokter’? Siapa itu ‘dokter’?”

“Aey, bikin kacau saja deh. Dengerin sajalah, ini tuh konsepnya!” dan Bonghwan kembali ke ‘pendalaman karakternya’ sebagai klien seorang psikolog. Dia bertanya, dengan … resah—melanjutkan keresahan curhatannya tadi, “Jadi, menurut Anda, apa kesimpulannya?”

“Tampaknya …” Tabib Yoon mengikuti ‘naskah’ juga, “Anda mengalami gejala-gejala umum selepas mati suri.” Tabib Yoon SIAP untuk menusuk Bonghwan dengan jarum akupunturnya yang bagaikan pedang.

“’Gejala umum’? Oh, jadi ini biasa terjadi.” Bonghwan duduk seketika, “Wah, tenang, deh, aku sekarang. Perkataanmu barusan BENAR-BENAR membuatku tenang.”

Tabib Yoon merasa tersanjung, dan menyarungkan kembali jarum akupunturnya seraya berkata, “Aih, itulah hebatnya saya; bisa menyembuhkan tanpa harus mengobati. Saya tabib yang bijak, Yang Mulia.”

“Ouh. Kau berbakat jadi psikolog, ya, kayaknya. Terus, jadinya kapan aku bisa bebas dari kondisi membingungkan dan ‘berubah-ubah’ ini, ha?” Bonghwan bertanya sangat serius, dan jawaban Tabib Yoon adalah … “Semua itu bergantung, tak lain, hanya kepada tekad hati Anda, Yang Mulia. Ketika Anda sudah bisa menerima diri apa adanya, maka hal apa pun tidak akan lagi menjadi kebingungan bagi Anda; dan ketika kebingungan itu sirna, ketika itulah, pula, Anda bisa memulai kehidupan.”

“Jadi, aku … harus menerima diriku apa adanya, begitu?”

“Ya.”

“Hmm,” Bonghwan mengerti sekarang, “Masuk akal sih, soalnya satu-satunya yang konsisten di diriku itu ya … ‘tidak konsisten’.”

Tabib Yoon melongo seketika.

“Oh!” Bonghwan baru ingat, “Tanaman obat buat masker kecantikan kemarin sukses tuh,” bahasnya, membuat Tabib Yoon berdehem, “Jadi, coba kau … ‘dalami’ lagi itu, ya? Dan buat kosmetik baru; supaya kulit wajah jadi kenyal, kinclong, cerah. Pokoknya yang bagus-bagus deh. Buat yang banyak, karena tiap 28 hari pasti diminta lagi itu.”

Tabib Yoon heran, “Mengapa … 28 hari, Yang Mulia?”

“Regenerasi kulit,” jawab Bonghwan, praktis, “Begitu sel kulitnya mati, masker itu akan dibutuhkan lagi.”

MR. QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang