71

1K 135 2
                                    

Bugh! Bugh! Bugh!

Seperti dugaan Alana, Paul kalap dan memukuli Adrian saat melihatnya datang mengantar Alana.

"Brengsek! Masih berani lo datang ke sini?"

"Bang, udah! Jangan mukulin anak orang sembarangan. Lo 'kan bentar lagi nikah, gimana kalau lo dipenjara?" Alana menahan Paul yang kembali bersiap menghajar Adrian.

"Biar aja, Lan. Aku memang pantas dihajar."

Adrian berdiri dengan tertatih sambil mengusap sudut hidungnya yang berdarah. Bogem mentah yang dihadiahkan Paul padanya bukan main-main kerasnya. Ia hanya bisa berharap rahangnya tidak bergeser, akan sangat lucu sekali kalau setelah ini wajahnya jadi tak simetris lagi.

"Bagus kalau lo nyadar! Lo tau adek gue hampir mokat karena nangisin lo tiap hari?"

"Bang, jangan dijelasin juga!" Alana malu karena Paul mengungkit perihal dirinya yang sampai sakit, karena saking sedihnya saat ditinggal Adrian pergi.

"Mau apa lo ke sini lagi? Mau nyakitin adek gue lagi?"

"Cukup, Paul! Bunda nggak pernah ngajarin kamu kasar sama orang." Bunda Alana melerai pertikaian mereka.

"Tapi, Bun ...."

"Adrian, ikut Bunda!"

Adrian mengikuti bunda Alana pergi ke ruang tamu, Alana duduk di sampingnya. Alana tegang memikirkan apa yang akan dikatakan bundanya kepada Adrian.

"Katakan sama Bunda, apa tujuan kamu kembali?" Bunda menatap Adrian dengan pandangan menyelidik.

"Bunda, saya cuma ...."

"Puteri Bunda cuma satu. Jangan sakiti dia lagi. Itu sama aja kamu nyakitin Bunda."

Adrian merasa tertohok mendengar ucapan bunda, ia menunduk malu.

"Maafin saya, Bunda. Saya janji, saya nggak akan ninggalin Alana lagi. Kedatangan saya ke sini ingin melamar Alana."

"Ih, nggak gitu juga, Mas. Aku 'kan nggak bilang setuju, aku bentar lagi skripsi, pasti bakal ribet banget kalau kita menikah, belum lagi ...."

"Alana, diem dulu. Bunda mau bicara!" Bunda kesal karena Alana memotong ucapan Adrian.

Alana segera membuat tanda resleting di depan mulutnya. Bunda hanya menggelengkan kepala pelan melihat tingkahnya.

"Yang kamu katakan itu serius, Adrian?" Bunda mengamati wajah Adrian, untuk menilai keseriusannya.

"Serius, Bunda." Adrian berkata tegas. Alana mengkode dari samping, diabaikan saja olehnya.

"Bunda, sih, terserah Alana saja." Bunda mengalihkan pandangannya ke arah Alana.

"Tapi, Bun ...." Paul yang mencuri dengar percakapan mereka tak terima, ia masih kesal dengan Adrian.

"Paul, kamu diem! Jangan ikut campur."

Paul yang kesal karena dimarahi bundanya di depan Adrian hanya bisa terdiam.

"Alana, Bunda tanya, kamu mau nerima Adrian kembali?"

Alana bingung ingin menjawab apa, ia melihat ke arah Adrian yang memandangnya dengan wajah penuh pengharapan. Kemudian ia melihat ke arah Paul yang memelototinya dengan pandangan mengancam.

"Jawab, Alana." Bundanya tak sabar menunggu jawaban Alana.

"Em, sebenarnya Alana masih sayang sama Mas Adrian." Alana berkata pelan.

Adrian menghela nafas lega mendengar jawaban Alana. Sedang Paul mengusap wajahnya kasar, kecewa dengan keputusan Alana.

"Ya sudah kalau begitu. Pesan Bunda cuma satu. Adrian, kamu jaga Alana baik-baik, jangan seenaknya ninggalin dia lagi. Secepatnya kamu bawa keluarga kamu ke sini."

"Tapi, Bun, Alana nggak mau menikah dalam waktu dekat ini. Alana masih ribet mikirin kuliah." Alana merengek.

"Sudah, lebih baik kalian menikah saja, biar setelah itu kamu bisa fokus ke skripsi. Bunda capek lihat kalian, putus nyambung melulu. Lagian buat apa, sih, pacaran kelamaan? Ngumpulin dosa aja."

"Tapi, Bun ...."

"Udah, keputusan Bunda udah final, nggak bisa diganggu gugat."

"Besok saya bawa tante sama om saya kemari, Bun."

Karena kedua orang tua Adrian sudah meninggal, ia hanya membawa keluarga dari pihak ayahnya saja, sedang keluarga dari pihak ibunya kebanyakan tinggal di luar negeri.

"Awas kalau lo nyakitin adek gue lagi. Gue kebiri lo!"

"Paul! Udah, kamu masuk aja!" Bunda mengajak Paul masuk ke dalam, menyisakan Alana dan Adrian di ruang tamu.

"Terus sekarang gimana?" Alana menatap panik ke arah Adrian.

"Ya nggak gimana-gimana."

"Mas, aku serius ini."

"Bukannya kamu seneng, abis ini kita menikah terus jadi suami istri?"

"Tapi masalahnya ini mendadak banget, Mas."

"Mendadak apanya? Bukanya sebelumnya aku udah pernah lamar kamu? Sebelum aku berangkat ke Aussie?"

"Emangnya kamu udah yakin mau nikahin aku? Entar kalau ada apa-apa kamu pergi lagi."

"Nggak akan. Aku janji. Dulu aku memang sangat egois. Aku sadar, kamu dan Edgar cuma sebatas teman aja. Kalaupun Edgar suka sama kamu itu hak dia, aku nggak bisa mengatur perasaan seseorang."

"Tapi, Mas. Edgar itu cuma ...."

"Aku cemburu karena kalian sudah lebih dulu dekat. Aku ngerasa berada di luar circle hubungan kalian. Aku iri sama dia, setiap kamu tertimpa kesulitan, dia yang pertama kamu ingat. Aku sadar, aku nggak bisa menggantikan posisi dia di hidup kamu."

"Beneran kamu nggak masalah aku masih temenan sama dia?"

"Iya, aku nggak masalah. Asal kamu tau batasan sebagai seorang istri. Bagaimanapun kalian 'kan lawan jenis."

"Makasih, ya, Mas. Kamu udah ngertiin aku. Edgar itu nggak hanya punya ikatan sama aku aja, tapi sama bunda juga. Dia udah kami anggap keluarga, dia hanya punya kami."

"Iya, aku tau. Maafin aku yang udah egois dan nggak mau ngertiin hubungan kalian."

"Udah kayak lebaran, ya. Maaf-maafan gini." Mereka berdua tersenyum canggung, kini semua masalah diantara mereka sudah clear. Mereka menghela nafas lega.

"Jadi gimana, udah siap jadi nyonya Adrian Simatupang?"

Alana tersipu malu mendengar gombalan Adrian. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Mas, aku boleh nggak ngabarin Edgar?"

Teman Tapi Mupeng (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang