Edgar memandang khawatir pada Alana, sedari tadi gadis itu lebih banyak diam dan memandang sekumpulan awan melalui jendela pesawat. Hari ini mereka bertolak ke Indonesia.
"Lan, lo nggak papa?"
"Emang gue harus kenapa? Diputusin cowok nggak penting doang. Emangnya dunia ini bakal berhenti berputar tanpa adanya dia? Gue nggak akan kenapa-kenapa, masih bisa napas, oksigen masih gratis ini. Dan lagi ...."
"Gue nanya dikit, jawaban lo panjang banget?"
Alana terdiam mendengar sindiran Edgar. Ia kembali melanjutkan kegiatannya mengamati sekumpulan awan yang dimatanya tampak seperti seonggok gula-gula kapas.
"Terus rencana lo sekarang apa?"
"Gue mau ambil psikologi klinis."
"Lah, ganti lagi cita-cita lo. Katanya tempo hari mau ngambil kedokteran?" Edgar mencibir Alana yang dengan mudahnya bisa berganti cita-cita.
"Gue orangnya fleksibel. Lagian apa salahnya, sih? Udah untung gue masih mau kuliah."
"Emang kalau nggak kuliah lo mau ngapain? Kawin? Atau luntang lantung nggak jelas cuma gara-gara si Adrian itu?"
"Jangan sebut nama dia. Mulai sekarang nama itu gue blacklist dari hidup gue."
Alana kesal karena Edgar malah membahas sosok yang sangat ingin dia lupakan. Sosok kejam yang bahkan disaat-saat terakhir tak mau mengantar kepergiannya ke bandara.
"Terserah." Edgar menyandarkan kepalanya, bersiap untuk tidur. Perjalanan masih kurang beberapa jam lagi.
"Lo sendiri mau ngambil jurusan apa?" tiba-tiba Alana bertanya.
"Sama aja kayak lo. Gue juga bingung mau ngambil apa."
Edgar memang selalu pasrah dengan jalan hidupnya, ia tak tau harus ke mana. Baginya asal bisa selalu bersama Alana itu sudah cukup. Tanpa ia sadari, Alana sudah menjadi pusat dunianya. Ia hanya sebuah satelit yang setia mengitarinya.
"Kok lo ngikutin gue mulu?" Alana mengangkat alis karena curiga.
"Kita 'kan kembar tak seiras?"
"Emang lo nggak punya bayangan, mau jadi apa gitu? Pilot kek, tentara kek?"
"Kalau gue jadi pilot gue bakal sering terbang-terbang, terus siapa jagain lo? Kalau gue jadi tentara terus mati ditembak kelompok militan?"
"Ya seenggaknya lo mati syahid, mati dalam tugas. Lagian ngapain lo musti jagain gue terus? Gue 'kan bukan istri lo?"
"Jadi lo mau gue peristri?"
"Apaan sih lo! Jangan-jangan bener kata si onoh, lo naksir gue, ya?" Alana jadi teringat perkataan Adrian tempo hari.
"Si onoh yang mana?" Edgar pura-pura bodoh.
"Itu, si onoh yang mutusin gue."
"Pede lo, kayak lo kebagusan aja. Lo aja bukan type gue. Gue suka cewek bohay, bukan tipis kek dompet akhir bulan gini."
"Awas lo, ya. Gue pegang kata-kata lo. Sampai lo naksir gue, hubungan kita finish. Gue nggak mau temenan sama lo lagi."
Edgar terdiam mendengar perkataan Alana. Ia menyadari fakta bahwa sekalipun dekat gadis ini memang di luar jangkauan. Hubungan mereka terhalang tembok yang lebih tinggi dari tembok Berlin, lebih panjang dari tembok Cina. Ia sudah terjebak friend zone sialan.
Alana bagai manekin yang terpajang cantik di etalase toko, sedang ia hanya gembel yang sedang mangkal di emperannya, hanya bisa menatap, tidak bisa memiliki. Perumpamaan macam apa itu? Edgar mengumpat dalam hati.
"Nggak mungkin gue naksir lo, nggak tau kalau lo yang naksir gue." Edgar membela diri.
Alana mendengus kasar, ia memalingkan muka kembali ke arah jendela. Edgar meliriknya dari samping. Sangat sulit untuk tak jatuh cinta pada Alana. Gadis itu tetap tampak menarik walau hanya memakai kaos oblong dan jeans belel, jangan lupakan sneaker dan rambut yang dikuncir asal itu. Entah mengapa tampak seperti kombinasi yang pas. Kalau gadis lain yang memakai, pasti sudah ia skip, melirik saja ogah.
Edgar tak tau sejak kapan tepatnya ia mulai jatuh cinta pada Alana. Mungkin saat pertama kali gadis itu menjadi temannya? Ia sendiri pun tak yakin. Yang pasti itu sudah sangat lama sekali.
"Gar, jadi buaya enak nggak, sih?"
"Kenapa? Lo mau jadi buaya betina?"
"Iya, mentorin gue, ya? Gue mau jadi fuckgirl."
"Hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Mupeng (Complete)
HumorNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.