40

942 159 0
                                    

Sudah beberapa hari ini Adrian tidak menghubungi Alana. Ini aneh, pikir Alana. Telpon dan SMS juga tidak dibalas. Ia kemudian meminta ijin bundanya untuk pergi ke rumah Adrian. Bundanya mengijinkan, tapi dengan syarat harus bersama Edgar.

Adrian tinggal seorang diri, orang tuanya telah tiada saat ia masih kecil. Bunda khawatir kalau mereka berdua di dalam rumah, nanti bisa timbul fitnah.

Setelah menghubungi Edgar, Alana bersiap-siap, bunda juga sudah menyiapkan makanan untuk Adrian.

***

"Yakin lo, ini rumahnya?" tanya Edgar. Rumah itu kelihatan sepi seperti tidak berpenghuni.

"Iya, beneran ini alamatnya kok." Alana mengulurkan kertas yang berisikan alamat Adrian. Alana memang belum pernah sekalipun pergi ke rumah Adrian. Ia agak ragu juga.

"Apa dia belum pulang kerja?" Edgar memeriksa jam tangannya, sudah pukul lima sore.

"Biasanya dia jam segini udah di tempat rumah kok." Alana mengintip ke dalam pagar, memang sepi.

"Lo telepon dia gih."

"Kalau dia mau angkat telepon gue, ngapain gue sampai datang ke sini, Edgar?"

"Kalian marahan?" Edgar mengerutkan dahi.

"Seingat gue, waktu kami terakhir ketemuan masih baik-baik aja. Kita duduk di teras sambil ngeliat bulan, dia nyemangatin gue supaya lulus ujian, waktu itu kita ngobrol sampai malam, terus dia ...." Alana berbicara dengan polosnya.

"Ehem ... Udeh, jangan diterusin!" Edgar mengorek lubang telinganya, merasa malas mendengar cerita Alana.

"Balik aja, kayaknya dia nggak ada. Mungkin ada tugas ke luar kota." Alana berujar sedih, tega sekali Adrian pergi tanpa berpamitan padanya.

Seorang wanita paruh baya, tetangga Adrian, yang melihat kedua orang itu mengendap-endap di depan pagar menjadi curiga.

"Nyari siapa, ya?"

"Mas Adrian ke mana ya, Bu?" Alana memberanikan diri bertanya.

"Oh, kemarin kayaknya dia pergi. Bawa koper gitu. Kamu yang namanya Alana?" Ibu itu melihat penampilan Alana dari atas ke bawah.

"I-iya, kok Ibu tau nama saya?" Alana bertanya keheranan.

"Bentar, ya."

Ibu itu malah pulang ke rumahnya yang berada di depan rumah Alana. Tak lama berselang dia pun keluar dan kembali menghampiri Alana.

"Dia nitip ini buat kamu." Ibu itu mengulurkan sebuah surat dengan amplop putih.

"I-ini apa, Bu?" Alana menerima surat itu dengan tangan bergetar, hatinya merasa tak enak.

"Waduh, saya nggak tau. Saya cuma dititipin aja. Mungkin isinya duit, hehe." Ibu itu bercanda untuk mencairkan suasana, ia merasa khawatir karena melihat wajah Alana yang memucat.

"Saya masuk dulu, ya?" pamit ibu itu ramah.

"Silahkan, Bu. Terimakasih, ya." Edgar yang menjawab.

Dengan tak sabar Alana segera membuka surat itu, ia segera membaca isinya. Edgar ikut penasaran juga, tapi ia tak ikut membacanya, ia hanya mengamati ekspresi Alana.

Alana terkejut membaca surat dari Adrian yang mengatakan dirinya sudah berangkat ke Sidney, ia minta maaf karena tidak berpamitan pada Alana, ia juga meminta Alana melupakan hubungan mereka. Di akhir suratnya ia meminta Alana jangan menunggunya, ia ingin Alana hidup berbahagia walau tanpa dirinya.

Mata Alana semakin buram karena air mata, membuat Edgar semakin khawatir melihatnya.

"Lan, lo kenapa? Dia ngomong apa?"

Alana tak menjawab pertanyaan Edgar, karena tak sabar Edgar merebut surat yang dipegang Alana. Ia segera membacanya, nafasnya naik turun karena emosi setelah membaca isi surat Adrian.

"Brengsek! Lo di-goshting."

"Edgar, hua ...." Tangis Alana semakin deras, Edgar meminjamkan bahunya sebagai tempat gadis itu mencurahkan air matanya.

Teman Tapi Mupeng (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang