KALEIDOSKOP BFL 1

385 9 0
                                    

Sore hari, Vivian berjalan menyusuri taman belakang sekolah, di sana ada sebuah danau. Ia mengemban ilmu pendidikan SMP. Hari Selasa seperti hari kutukan. Setiap hari Selasa entah bagaimana terjadi; Ia terus saja seperti gunung Vulkanik; kesal dan marah berapi-api yang lagi-lagi karena terhasut oleh murid-murid perempuan sok senior, yang menggunakan cara seperti ular. "Dasar Para Ular Betina Terkutuk!" gerutu Vivian sambil mengepalkan tangan kuat-kuat. "Di masa depan nanti aku yakin kalian akan dipermainkan laki-laki berengsek!"

Berhenti, menghela napas dan mengembuskan pelan, Vivian melipat kedua tangan di dada, yang masih saja terasa kesal memikiran kelakuan senior ular betina. Ia duduk di bawah pohon, seberang terdapat danau. Ia melihat bayangan wajahnya yang berlemak. Ia adalah babi buruk; menghela napas tak berdaya dan memakan roti berisi cokelat dengan pasrah seraya menatap ke air danau yang membiaskan wajah buruk rupa, ia bergumam. "Sial ... kau sangat malang Vivian Annabelle York ...."

Mengeram kesal, Vivian masih mengirim tatapan diri sendiri ke air danau lalu ia merenggangkan jari-jari dan melepaskan rumput-rumput hijau di sebelah yang tak berdosa ia cekik.

"Hei Babi jelek!"

"Babi jelek!"

"Babi jelek seharusnya kau makan
di kandang penuh lumpur kotor! Bukan makan di kantin manusia."

"Babi jelek menjijikkan."

Sekali lagi pikiran Vivian melayang pada setiap kata-kata memaki dari senior-senior ular betina di kantin beberapa menit lalu ditujukan untuk ia.

"Aku ingin menangis ... aku ingin pulang ke Indonesia ...."

Vivian tidak bisa berhenti memikirkan setiap kata orang-orang di sekolah yang setiap hari selalu menindas ia karena berwajah jelek seperti babi.

"Padahal babi adalah hewan imut."

Vivian bergumam pelan, berangsur-angsur melamun sendirian di danau siang yang berangin dan itu membuat ia nyaman dan kemudian ia lelah memikiran segala ucapan tajam dari senior-senior perempuan tanpa akhir. Ia menguap dan tertidur di bawah pohon.

"Memang kalau dipikir-pikir, babi itu imut. Seperti kau, Vivian." Seseorang berbisik dan Vivian terlalu berat untuk membuka mata saat itu. Namun Vivian merasakan kecupan lembut di dahi, namun tetap saja Vivian belum bisa membuka mata.

Hari Selasa sangat menyedihkan dan Vivian tetap tidur dan menutup mata dan memilih kalau suara berbisik sesaat lalu adalah seekor burung pipit yang bermaksud menghibur suasana hati Vivian.

Detik berlalu.

"Hei Vivian! Vivian! Bangun Vivian!"

Vivian mengerutkan kening.

"Bangun Vivian! Astaga, Vivian!"

Dengan dorongan sangat paksa, Vivian membuka mata. "Asteria?"

"Akhirnya kau bangun. Kenapa kau tidur di sini? Ayo berdiri, dan omong-omong Profesor Rome Patriak menanyakanmu."

"Sekarang sudah masuk kelas kimia?!"

Sesuatu berdering keras di dalam kepala Vivian. Profesor Patriak akan mengguluti ia dan ia tidak mempunyai alasan kuat atas semenitnya tak hadir dalam kelas.

"Aku sudah membuat alasan untukmu."

Kepala Vivian bermiring menatap Asteria. "Aku tidak mengerti."

"Aku katakan kepada Profesor Patriak bahwa kau sedang di suruh oleh wali kelas untuk memeriksa tugas murid kelas sebelah dari kelas kita."

Vivian menangkup tangan Asteria dan menatap berbinar-binar, "Kau malaikat penolongku! Asteria, terima kasih!!!"

"Iya, iya, iya, mari kita segera kembali ke kelas, Profesor Patriak bisa curiga kalau kau belum ke kelas."

"Yap!"

Asteria dan Vivian berjalan meninggalkan pohon di tepi danau jarang didatangi orang-orang di sekolah. Jarang terlihat orang-orang di tempat tersebut, sehingga Vivian menjadikan markas untuk ia tidur ketika di sekolah setelah menghadapi banyak perasaan sangat kacau.

"Lonza berengsek! Kau ke mana saja?!"

Baru tiga puluh langkah kaki menjauh dari danau, dari jauh Vivian mendengar suara seseorang berteriak dan mengatakan nama Lonza. Vivian menoleh ke kanan mencari-cari Lonza. Menemukan Lonza itu mudah.

"Kau bedebah, Arthur! Jangan memanggil aku berengsek!" Lonza melemparkan tatapan tajam kepada Arthur, dan benar saja tak jauh dari pandangan Vivian menemukan Lonza itu mudah. Ia melihat punggung Lonza dan Arthur. Dua laki-laki di sana saling mengumpat tak jelas.

Menggelengkan kepala pelan, Vivian menggigit daging pipi dalam mulut untuk menahan senyum ketika melihat Lonza tertawa lepas dan tersenyum manis sejenak. Dan Vivian tertegun melihat Lonza memegang bibir bawah dengan telunjuk setelah Arthur menatap ke layar ponsel.

"Vivian, ayo jalan." Asteria berseru dan Vivian terkejut seketika.

"Uh Asteria, iya."

Vivian membekap bibir sedikit kuat, ia cemas memikirkan suara seseorang dan ciuman dahi di danau. Ia mendekatkan telunjuk ke dahi dan rasanya ia menyukai itu. 'Dalam mimpiku tidak mungkin aku dicium di kening oleh seseorang di danau tadi dan sangat tidak mungkin Lonza Nicholas Alejandro yang melakukannya.' []

_______________________

Support me with vote and comments.
Thank you ...

Salam dan peluk hangat,
Ennve.

Behind Forbidden Love | #Vol (1). PPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang