Vivian masuk ke kamar tidur dan merebahkan tubuh ringan ke ranjang tidur. Batin dan tubuh Vivian rasakan sangat sakit.
Pandangan dan pikiran Vivian diambil alih alkohol mulai hilang. Pikiran dan mata Vivian perlahan mulai stabil. Namun tiba-tiba ia merasa sesuatu berputar-putar dalam perut.
Merasakan dalam perut diobrak-abrik, Vivian langsung masuk ke kamar mandi dan memuntahkan semua yang ada dalam perut ke mulut kloset, minuman alkhol lebih banyak ia muntahkan.
Makanan dan minuman di dalam perut semuanya keluar dimuntahkan, Vivian berdiri dan mengambil tisu berdekatan dengan wastafel. Ia mengelap sisa muntah di sudut bibir lalu membasuh wajah dengan air keran yang sudah menyalah.
Menatap diri yang berantakan di cermin kaca dalam kamar mandi, sudut bibir kiri Vivian menyinggung miring. Ia tertawa sinis dalam suara pelan.
Tangan kanan Vivian bergerak menuju bibir yang terasa perih ketika terkena air. Vivian merenung, mencoba mengingat-ingat kembali yang terjadi di kelab malam itu.
Seketika mata Vivian membulat, aliran napasnya tertahan ketika tahu yang terjadi tadi malam.
"Itu bukan Edo ... Irish akan membunuh Edo dan aku jika itu nyata terjadi!"
Bayangan-bayangan yang terjadi di kelab malam mulai bermunculan. Yang terbayang jelas ada seseorang penolong dan Vivian mengatakan bahwa itu adalah Edo, kekasih Irish. Tangan Vivian bergerak lagi menyentuh bibir yang masih perih itu. Tidak mungkin Edo yang ia cium.
Vivian memaksa kepalanya berpikir lagi lebih keras. Ketika sudah mengingat yang terjadi, punggung Vivian menegang, bayangan seseorang ia benci melintas dalam benak, "Tidak! Itu bukan Lonza!"
Saat itu Vivian mengingat samar agar jangan memanggil nama Edo karena nama pria itu bukan Edo tetapi Lonza.
Vivian mencengkeram kuat buku-buku tangan di pinggir wastafel. Kini pria dari masa lalu berhubungan lagi-masuk ke dalam kehidupan damai ia jalani yang telah membaik setelah ia kembali dari London.
Bayang-bayangan panas terjadi ketika di kelab malam muncul. Vivian semakin tertegun. Lekuk leher, jari-jari Vivian menyentuh ke tanpa bekas ciuman. Tanda di sana tentu saja perih. Ia bergerak lagi menuju buah dada. Ada tanda lain lagi, mirip tanda pada leher.
"Apa yang sudah aku lakukan? Aku bukan jalang! Aku bukan jalang!"
Suara geraman marah Vivian memekik di dalam kamar mandi menyunyi.
"Kenapa aku tidak melawan! Kenapa?! Bahkan saat Daddy mengambil paksa ciuman pertamaku! Aku tidak mampu melawan dan kenapa itu terulang lagi? Kenapa Lonza yang harus merusak sebagian tubuhku?!"
Vivian melempar kotak tisu di sebelah kanan ke cermin kaca yang memantulkan bayangannya, wajahnya sangat berantakan. Bayangan semalam seperti dirinya adalah seorang perempuan murahan yang telah terbuai nafsu busuk.
Vivian menangis semakin kencang dan kedua kaki ia seketika lemas.
Terduduk begitu saja di lantai kamar mandi, isakan tangis Vivian semakin memecah tanpa diketahui orang rumah.
Matahari masuk melalui jendela kamar tidur mengarah sekenanya ke mata Vivian. Sebelum tidur, Vivian membuka kaca jendela kamar tidur dan menatap langit malam dengan tatapan kosong. Vivian pergi melangkahkan kakinya ke arah tempat tidur dan membaringkan tubuhnya yang terasa remuk sekaligus lelah dengan semua yang terjadi semalam.
Suara ketukan pintu terdengar. Vivian membuka mata pelan-pelan, lalu menggeliat pelan.
"Nona."
Vivian enggan menyahut, namun ia tidak ingin mengabaikan panggilan perempuan berusia tua.
"Ya, kenapa, Trisha?" Vivian membalas ucapan Trisha.
Selama ini Trisha yang terlalu peduli atas keadaan Vivian ketika sakit, ketika sendiri, ketika sedih.
Vivian berjalan menuju pintu dan setelah pintu terbuka, Trisha memasang senyum hangat.
"Nona belum makan sejak pulang ke rumah. Saya sudah menyiapkan makanan untuk Nona."
"Trims, Trisha. Nanti aku ke bawah."
Dahi Trisha mengerut melihat bengkakan di bawah mata Vivian. Trisha menyimpulkan dengan pasti Vivian menangis dan itu dilakukan dengan sembunyi.
"Apa Nona semalam menangis?"
Vivian tersenyum pahit, dan tidak mengomentari. Jika Trisha mengetahui kemarin malam ia menangis, Trisha akan cemas dan akan mengeluarkan berbagai omelan. Ia tidak ingin mendengar omelan itu untuk sekarang.
"Jika Nona tidak ingin mengatakannya kepada saya, tidak apa-apa. Cukup Nona baik-baik saja saya sudah legah. Sekarang Nona silahkan membersihkan diri dulu setelah itu turunlah ke bawah dan makanlah sesuka Nona. Saya memasak cukup banyak."
Vivian mengulum senyum paksa. "Bagaimana dengan Daddy? Apa Daddy masih di bawah?"
Trisha menggeleng. "Tuan sudah berangkat ke kantor sejak pukul setengah enam pagi. Nona lupakanlah yang terjadi kemarin malam. Jika Nona mengingat terus kejadian itu, Nona akan semakin terpuruk. Saya tidak ingin Nona bermurung lagi. Jadi lupakanlah yang terjadi."
"Ya akan kucoba melupakannya. Sekali lagi terima kasih, Trisha." Vivian memeluk Trisha dan menyembunyikan wajah di balik pelukan Trisha. Memang hanya Trisha yang selalu bersamanya.
Vivian melepas pelukan itu. Ia menghela lega, beban satunya terasa menghilang.
"Sekarang Nona segera mandi. Saya akan menunggu Nona di bawah."
Vivian mengangguk pelan lalu menutup pintu kamar setelah Trisha beranjak pergi. Setelah mendengar perkataan Trisha dan kini ia seorang diri di dalam kamar tidur, menyimpulkan ia hanya perlu melupakan yang terjadi tadi malam. Meski pola akrab itu sulit dilupakan, bukan berarti ia harus menjadi manusia terpuruk selamanya. Dan benar, ia harus bangkit demi hidup lebih baik. Karena hidup, tidak selalu berputar pada pola yang sama. []
_______________________
Support me with vote and comments.
Thank you ...Salam dan peluk hangat,
Ennve.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Forbidden Love | #Vol (1). PPT
RomanceNSFW - [D28+] [√ SELESAI] [DDLG PROJECT OF PURE TABOO] VOLUME (1). Behind Forbidden Love © 2019, Ennvelys Dover, All right reserved. Cover Ilustration & Designer: Ennvelys Dover Logo Illustration & Designer: MPH/MDee ...