A/n:
Dunia nyata kejam. Dunia fiksi tentu kejam juga :'D
Selasa siang terik matahari meninggi tepat pada pukul satu. Vivian baru saja pulang dari sekolah. Wajah gadis itu sedang senang. Hasil ujian kimia hari itu dapat dilewati Vivian. Sopir telah menggantar Vivian sampai dengan selamat di rumah.
Vivian melangkah naik undakan tangga berspiral. Pelan sambil bersenandung Vivian melangkah.
"Nona!"
Vivian berada di tenggah tangga, memutar badan ke belakang. "Ada apa, Trisha?"
"Saya memasak daging panggang. Nona menyukainya akhir-akhir ini," kata Trisha.
Vivian meneguk ludah. "Oke! Tunggu setelah aku berganti pakaian."
Vivian melangkah cepat naik ke tangga atas, menuju kamar tidur dan mengganti baju rumahan.
Vivian tidak lama sampai di dapur. Trisha baru saja menaruh daging panggang di atas piring.
"Nona makan pelan-pelan. Masih panas." Trisha memperingatkan Vivian.
Uap panas berupa asap dari daging panggang berlemur kecap menyeruak ke udara. Vivian semakin meneguk ludah.
Trisha memberikan satu piring berisi daging ke hadapan Vivian. Senyum bagaikan anak kecil sepuluh tahun Vivian perlihat secara naluriah. Seakan senyuman itu menular, Trisha ikut tersenyum seraya mengawasi Vivian makan.
Vivian memotong-motong kecil beberapa bagian daging lalu kemudian memakannya.
"Sangat enak!" kata Vivian dengan riang.
"Nona senang, saya pun senang," balas Trisha. Lalu tersenyum hangat.
Vivian memakan lagi daging itu hingga habis tanpa sisa.
"Nona terlihat sangat puas dan menikmatinya," sahut Trisha di sebelah kanan. Vivian masih menikmati daging itu dengan bahagia.
"O-oh. Yah, aku sangat menyukai daging panggangnya. Kau tahu, kaloriku pasti akan bertambah. Aku mungkin tidak akan cantik lagi." Vivian menjawab dengan wajah murung setelah itu.
"Nona masih cantik! Siapa yang bilang Nona tidak cantik? Mau Nona gemuk ataupun kurus. Nona tetap cantik dan manis." Trisha mengatakan dengan jujur. Wanita paruh baya itu bersungguh-sungguh tak lepas dari garis wajah sepuh.
"Trims. Suka tidak suka aku pasti akan gemuk lagi. Bahkan Bibi Ruby pernah mengatakannya padaku," kata Vivian. Mata Vivian menatap piring tempat daging yang kini habis cukup cepat.
Trisha menepuk pelan puncak kepala Vivian. "Nona, tetap cantik. Jangan bersedih. Selagi Nona menjaga konsumsi makan agar tidak berlebihan Nona tidak akan gemuk. Percaya pada saya."
Kata-kata Trisha seperti sebuah sihir. Vivian akan mensugestikannya pada dirinya. Vivian melukiskan senyum indah ke arah Trisha.
"Aku akan kembali masuk ke kamar. Maksudku banyak tugas sekolah yang mesti kuselesaikan," kata Vivian sebelum bangkit dari tempat. Trisha mengangguk mengerti.
Vivian melangkah menuju lantai dua, menaiki tangga, sedikit bertanya-tanya bahwa mungkin gemuk itu mungkin karena badannya telah mendua. Ah, entah Vivian seperti akan gila jika kembali gemuk lagi.
Vivian berhenti melangkah ketika di depan pintu ruang kerja sang Ayah. "Tuan. Nyonya Jasmine masih bersama pria tersebut."
'Mattew di dalam bersama Dad?' Vivian membantin. Sangat jelas suara yang mengatakan Jasmine adalah Mattew. Pintu kerja ruang sang Ayah setengah terbuka.
"Lalu apa lagi yang kau dapatkan, Mattew?" tanya sang Ayah.
"Nyonya Jasmine sepertinya tinggal bersama pria tersebut di apartemen yang berada di balai perkotaan." Mattew memberitahu lagi.
"Apakah hidup mereka tidak melarat? Maksudku kau tahu harusnya mantan isteriku itu tidak harus bersama pria sialan itu. Hidupnya pasti akan melarat dan mungkin uang dapat membuatnya kembali." Suara sang Ayah terdengar menghakimi. Kemudian terdengar pelan suara berdecih, Vivian tahu bahwa sang Ayah yang melakukan itu.
"Saya kurang tahu Tuan. Omong-omong apakah Tuan sudah memberitahukan pada Nona tentang Nona bukan anak Tuan yang sesungguhnya?"
"Apakah wajahku dapat memberitahunya tentang hal tersebut?"
"Saya pikir tidak, Tuan."
"Persis seperti itu, Matt. Kau tahu aku menyimpan tentang Vivian bukan anakku merupakan beban. Vivian bertanya-tanya padaku mengenai Jasmine tidak kembali. Tak tahukah dia bahwa Ibunya telah menyimpan rapat rahasia ini bertahun-tahun lamanya dariku? Aku tak tahu harus melakukan apa menyelesaikan satu masalah gila ini tanpa menimbulkan masalah baru."
"Tuan, saya pikir Tuan perlu memberitahu Nona tentang dirinya."
"Maksudmu mengatakan bahwa dia bukanlah anakku?" Jason tertawa pahit dan Vivian dapat mendengar tawa itu. "Itu tidak mudah, Matt. Bahkan rahasia ini tidak semudah yang kau pikirkan. Vivian beban untukku. Aku harus menjaganya dan tidak memberitahu tentang dirinya siapa. Ini mengingatkan pada diriku yang dulu."
Dari lemari berkaca di dalam sana, sedikit Vivian melihat sang Ayah memalingkan wajah mengarah ke jendela kaca yang kusennya terbuka
"Tuan ... apa maksud Tuan?" tanya Mattew tidak mengerti.
"Aku pernah berada di posisi seperti ini. Vivian ...." ucapan sang Ayah berhenti sejenak. Melanjut kembali, ".... untukku seperti beban. Aku tak tahu harus apa dan bagaimana. Aku sangat bingung dan kadang-kadang kepalaku sakit memikirkan bagaimana cara keluar dari permasalahan pelik yang tak ada berhentinya bertambah."
Bibir Vivian bergetar. Kaki gadis itu sangat berat melangkah, seolah ada akar-akar pohon menahan di bawah sana. Wajah Vivian menunduk ke bawah. Lantai seolah menjadi penglihatan yang dapat menghiburnya. Tak ada senyum di wajah Vivian.
'Sial! Bergerak kaki!' Vivian mencoba menggerakkan kaki. Lagi dan lagi. Hingga akhirnya Vivian dapat menarik kakinya melangkah. Vivian kembali melangkah ke lantai dasar lalu menuju taman bunga yang selalu di rawat oleh sang Ibu.
Mungkin taman bunga itu yang terbaik.
Vivian memetik beberapa bunga mawar putih lalu duduk di bawah pohon yang terdapat di taman itu.
Satu petik kelopak bunga. "Beban." Satu kelopak bunga lagi. "Siapa aku?" Vivian bertanya sendiri. Satu kelopak bunga lagi. "Beban." Satu kelopak bunga lagi. "Rahasia. Beban."
Vivian meneteskan air mata, "Apakah aku beban? Bodoh! Tentu, kau adalah beban Vivian."
Vivian memetik habis kelopak bunga itu. Mata gadis itu menatap tanah berwarna cokelat. Wajah Vivian malang seumpama seekor anak anjing yang kehujanan sedang bertedu kala ini di bawah pohon.
Vivian mengambil ponsel dan mencari kontak seseorang yang dapat mengeluarkannya dari sangkar menyesakkan ini.
Suara di seberang telah terdengar, "Halo. Vivian ada apa?"
"Tannia. Aku ingin kembali ke London. Di sini sangat menyesakkan." Vivian bersuara lirih.
"Aku tahu kau pasti akan meminta hal ini. Besok, aku akan menjemputmu di sekolah. Mengenai pengawal yang mengawasimu adalah urusanku." Tannia mengatakan terdengar jelas, dan Vivian berwajah sembab setelah menangis mengangguk-angguk. "Namun jangan tinggalkan rekam jejakmu apa pun. Lakukan seperti pertama kau kabur. Kau bisa melakukannya, kan?"
"Tentu. Tidak sulit bagiku. Trims, Tann. Aku tutup teleponmu."
"Ya, Vivian."
Setelah Tannia membalas percakapan terakhir, Vivian menutup panggilan telepon itu.
Di sudut bibir Vivian mengkerut. Tidak bisa Vivian melengkungkan sebuah senyuman. Gadis itu hanya menatap pada tanah di bawah antara kaki. []
_______________________
Support me with vote and comments.
Thank you ...Salam dan peluk hangat,
Ennve.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Forbidden Love | #Vol (1). PPT
RomanceNSFW - [D28+] [√ SELESAI] [DDLG PROJECT OF PURE TABOO] VOLUME (1). Behind Forbidden Love © 2019, Ennvelys Dover, All right reserved. Cover Ilustration & Designer: Ennvelys Dover Logo Illustration & Designer: MPH/MDee ...