BAB 45

2.5K 59 4
                                    

"Bukankah pria angkuh itu sudah pulang?" gumam Atlas saat menuju tangga lantai dua.

Atlas mengedarkan pandangan, sama sekali ia tidak melihat Ayahnya. Ia kembali menaiki anak tangga berikutnya.

Di depan pintu kamar tidurnya, sebelum masuk, Atlas menoleh ke pintu kamar tidur orang tuanya. Pintu itu tertutup rapat. Atlas masuk ke kamar tidurnya dan mengunci pintu. Ia butuhkan sekarang adalah kesendirian untuk memulihkan diri yang ia rasakan benar-benar kacau karena permasalahan keluarga, tepatnya perempuan di masa lalu Ayahnya, yang masih dipikirkan Ayahnya.

Tidak perlu makan malam, Atlas dalam perjalanan pulang sempat ke sebuah restoran untuk makan, sehingganya malam nanti ia tidak perlu bergabung makan malam bersama keluarga Agnellie berjumlah tiga orang.

Sebelum menaiki tangga dan masuk kamar tidur, Atlas memberi tahu pengurus rumah bahwa ia sudah makan malam.

"Apa lagi yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah itu tidur?" Atlas tampak berpikir di tempat tidur.

Pintu kamar tidur diketuk tiba-tiba dari luar dan Atlas baru akan menutup mata.

Terdengar suara seseorang berkata, "Tuan Muda! Tuan! Tuan Muda!"

Atlas turun dari tempat tidur sambil memegang dahi. Pintu lantas dibuka dari dalam oleh Atlas.

Seorang pelayan dengan ekspresi khawatir menatap Atlas.

"Ada apa?" tanya Atlas secara langsung.

"Nyonya ... Nyonya Nancy-Ibu Tuan Muda ... tidak sadarkan diri."

Atlas terpaku dan napas ia tiba-tiba tertahan oleh rongga saluran pernapasannya sendiri.

"Tuan! Tuan!"

Suara di sekitar seperti tak terdengar. Atlas tidak tahu mengapa pendengarannya hilang.

"Tuan. Tuan Muda!" Sekali lagi pelayan itu memanggil Atlas. "Tuan Muda! Nyonya tidak sadarkan diri!"

Panggilan terakhir pelayan rumah seperti sihir menarik Atlas keluar dari ruang dimensi di suatu tempat kosong.

Seperti membelah lautan yang dilakukan seorang penyihir, Atlas seolah-olah melakukan hal itu. Atlas berlari cepat ke kamar tidur ibunya. Pelayan rumah yang telah memberi tahu Ibunya tak sadarkan mengikuti Atlas dari belakang.

Di sana, Nancy Agnellie berwajah sangat pucat dengan mata terpejam. Atlas mulai ketakutan. Punggung pria menegang. Ia melangkah tertatih ke arah sang Ibu.

"Mom."

Suara rendah Atlas memanggil sang Ibu berbaring di tempat tidur, tidak mendapatkan respon.

Atlas membuang jauh-jauh semua pikiran buruk yang datang bertubi-tubi. Ia segera meraih salah satu lengan sang Ibu dan sedikit mengguncangnya, namun tak ada respon apapun.

"Mom, Mom, Mom! Tolong jangan bercanda." Atlas mengguncang bahu sang Ibu perlahan, perlahan, lalu dengan kuat. Lagi-lagi, tak ada respon sama sekali dari sang Ibu. Manusia normal akan merasakan kejutan itu tetapi Nancy Agnellie tidak menanggapi yang dilakukan Atlas.

"Mom!" Suara Atlas langsung meninggi. "Tolong, Mom."

"Tuan, tolong tenang."

Pelayan tadi sedang mencoba menenangkan Atlas dengan berkata lembut.

"Segera telepon ambulan! Sekarang!" seru Atlas dengan marah.

"Saya sudah menelepon ambulan. Sekarang ambulan dalam perjalanan ke sini."

"Panggil Nenek. Nanti hubungi, Dad," kata Atlas dengan nada suara marah.

Pelayan itu kemudian pergi dari hadapan Atlas dan menjalankan perintah yang diberikan Atlas.

"Atlas?"

Suara Nancy Agnellie sangat pelan tiba-tiba menyahut kepada Atlas.

"Mom. Oh Tuhan. Tolong jangan banyak bicara dulu," kata Atlas khawatir tentang kondisi Ibunya.

Sang Ibu menggelengkan kepalanya perlahan lalu tersenyum lembut dan meyakinkan pada Atlas.

"Atlas. Maaf."

Atlas segera menggelengkan kepalanya, ekspresi ia sangat cemas. "Mom, jangan katakan apa-apa dulu dan tunggu sampai ambulan tiba."

"Percuma Atlas. Aku tidak tahan dengan kerja racun yang sudah kuminum."

Napas Atlas tercekat. Racun? Bukan. Ini bukan bulan lelucon. Ia tidak akan percaya. Ia terkekeh sedih.

"Mom, tolong jangan bercanda."

"Atlas, Mom sangat mencintaimu dan mencintai Ayahmu. Kalian berdua adalah jiwaku yang berharga dari apapun."

Suara Nancy terdengar pelan dan lemah. Seiring berjalannya waktu, Atlas memerhatikan napas sang Ibu terhela tidak bagus. Sang Ibu berkata lagi kepada Atlas, "Ini adalah jalan penebusan dosa Mom. Lucas, Ayahmu jelas mencintai Jasmine. Mata pria itu tidak berbohong, Atlas." Nancy memegang pipi kanan Atlas dan tersenyum lembut. "Maafkan Mom. Dan tolong temukan Puteri Mom. Dia adalah saudara tirimu, Atlas." Napas Nancy semakin memburuk. Tapi dia berupayah bertahan dalam kondisi tidak stabil. Dia harus mengatakan semuanya sebelum terlambat. "Mom ... menitipkan dia di pa-anti...a-su-han dengan kalung dan-de-lion. Rahasiakan tentang aa-adikmu dari keluargamu aga... Agnel....e." Nancy memutuskan sambungan kata-kata terakhir yang tidak bisa dia selesaikan, dan senyum lembut dia terukir indah dengan mata yang terbuka tapi tidak bergerak.

"Mom, tidak. Jangan! Mom, tolong tetap bersamaku!" teriak Atlas.

Semua darah yang mengalir dalam tubuh Atlas seolah berhenti mengalir. Atlas membeku. Diam dan hanya menatap wajah sang ibu. Atlas menggelengkan kepalanya, mata pria itu menjadi kosong. Pemandangan gelap. Kemudian pria itu tertawa dingin. Lagi. Atlas tertawa dan tertawa.

Atlas berusaha melihat dengan jelas wajah ibunya, namun itu sia-sia.

"Mom ...! Tolong jangan." Atlas mengguncang bahu sang Ibu sangat kuat, namun tak ada jawaban dari sang ibu. "..... Mom, aku akan membalas semua ini. Kematianmu."

Sang ibu telah pergi untuk selamanya dan bara kebencian di hati Atlas tumbuh semakin banyak. []

_______________________

Support me with vote and comments.
Thank you ...

Salam dan peluk hangat,
Ennve.

Behind Forbidden Love | #Vol (1). PPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang