BAB 46

2K 58 5
                                    

Kematian kapan saja bisa terjadi. Meninggalnya seseorang yang pernah ada dikehidupan setiap orang, terkadang tidak atau justru lebih banyak meninggalkan berbagai momen.

Keputusan sang Ibu yang memilih meminum racun adalah keputusan seorang putus asa. Atlas sudah memiliki rencana licik sebenarnya. Ketatapan nanar Atlas memandang peti sang Ibu, menambah bukit dendam pada sang Ayah. Namun, Atlas lebih menanam dendam pada perempuan yang dimuliakan sang Ayah.

Pendeta berdiri di depan sebelah dari peti mati Nancy Agnellie menyampaikan pidato, yang sebagian besar adalah tentang kematian.

"Atlas, apa kau tahu di mana Lucas sekarang?"

Itu adalah suara sang Nenek yang telah duduk kembali di kursi sebelah dari Atlas.

"Aku tak tahu, Nek." Atlas menjawab datar.

Sang Nenek mendesah frustasi. "Nenek sudah menghubungi Ayahmu, tapi panggilannya tidak tersambung," kata Adelle dengan ekspresi cemas. "Oh Tuhan."

"Nek." Atlas di sebelah memanggil dengan suara pelan.

Adelle menggerakkan kepala ke arah Atlas. "Ada apa?" tanya Adelle.

"Dia pasti sedang mencari pelacur itu."

Mata sang Nenek mendelik, pertama kalinya dia mendengar kata kasar dari mulut Atlas. "ATLAS! Jaga perkataanmu."

"Apa Nenek tahu mengapa Mom mati?" Atlas bertanya dengan seringai miring. Atlas menunggu beberapa menit untuk jawaban dari sang Nenek. Tapi sepertinya, sang Nenek tidak memiliki jawaban tersebut.

"Aku akan beritahu Nenek. Namun setelah pemakaman Mom," sambung Atlas kemudian.

"Jasmine—"

"Kak!"

Suara seseorang tiba-tiba menyela pembicaraan Atlas dan sang Nenek.

Adelle memutar pandangan ke belakang, suara itu dari arah belakang.

"Martin?" kata Adelle seraya menatap sosok pria sedang melepaskan kacamata hitam bertengger pada hidung. Lantas Adelle bangkit dari duduk. "Kita akan melanjutkan pembicaraan yang tadi, Atlas."

Adelle segera meraih tangan Martin hingga menjauh beberapa meter dari tempat pemakaman. Di bawah pohon rimbun tinggi secukup, Adelle membawa Martin ke tempat itu. Tidak dipungkiri bahwa kekesalan tadi ketika berbicara dengan Atlas masih tersimpan di dalam dada Adelle, dan kekesalan itu bertambah lagi dengan kedatangan Martin.

"Apa urat malumu sudah putus dari tempatnya, Martin? Kenapa kau ada di sini?!" tanya Adelle dengan marah.

"Kak, tenang dan santai. Aku hanya ingin melayat dan mendoakan jenazah Adik Iparku," jawab Martin dengan senyum.

"Lalu?" Adelle bersedekap sembari bertanya kepada Martin dengan tatapan tajam.

"Hm, hanya itu."

"Kau sendirian?" Adelle bertanya seraya menjelingkan mata ke kiri dan ke kanan di sekitar area pemakaman.

"Tidak. Aku bersama Jillian. Tapi dia lebih ingin di dalam mobil."

"Jill-perempuan gila itu masih berada di sisimu?!"

Martin memegang salah satu pundak Adelle. Mencoba menenangkan emosi Adelle. "Kak, Isteriku mempunyai nama dan tolong tenangkan dirimu, kita sedang di area pemakaman."

"Kau tak perlu mengingatkan nama perempuan sial—"

"Isteriku punya nama, Kak! Jillian Stefanie Devaúx Flodes. Apa susah menyebut nama Iseriku? Dan Jill bukan perempuan sial Kak!"

Behind Forbidden Love | #Vol (1). PPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang