BAB 58

1.9K 88 12
                                    

Vivian menggigit bibir bawah dan tak tahu harus menjawab kata-kata tadi ia katakan—jika ia mengeluarkan satu kata saja artinya semua itu sia-sia.

Berjongkok di sebelah ranjang sang Ayah, Vivian meneguk rapat kedua lutut dan menenggelamkan wajah di antara tangan di atas lutut. Itu cara Vivian menyembunyikan wajah buruk rupa sedang menangis dan berharap tangis ia perlahan pecah dan tidak terdengar sampai keluar dari ruangan.

"Jauh di dalam hatiku, aku membencimu, Dad."

Helaan napas terus terdengar dari masker oksigen digunakan sang Ayah. Bunyi mesin indikator deteksi jantung berbunyi bagaikan alarm antara hidup dan mati.

Setelah sepuluh menit, tangisan Vivian berhenti. Vivian berdiri dan menatap wajah sang Ayah. Ia tersenyum miris dan mengernyit ketika menatap jemari besar tangan kiri sang Ayah. Jari telunjuk sang Ayah terangkat.

"Dad?"

Vivian segera menekan tombol darurat di atas ranjang tidur sang Ayah. Ia menggeleng dan tahu kalau menunggu dokter datang hanya akan membuang-buang waktu.

"Aku akan segera memanggil Dokter, Dad."

Vivian setengah berlari keluar dari ruangan medis sang Ayah.

Di lorong sunyi rumah sakit, Vivian masih berlari. Hingga di tengah lorong, Vivian melihat beberapa orang memakai jubah serba putih. Vivian membuat fokus, anehnya Vivian melihat sekitar perlahan memburam.

Dari jarak cukup jauh, Vivian melihat orang-orang berjubah putih. Ia berseru, "Dokter!"

Kakinya berusaha dipaksa bergerak. Vivian bertekad memberi tahu kepada dokter bahwa sang Ayah akan pulih dan membuka mata.

"Dokter, Dad—pasien bernama Jason York sepertinya mulai siuman. Kamar rawat nomor 404. Jemari dia bergerak."

"Ya, kami sudah mendapatkan panggilan dari kamar rawat tersebut."

Dokter menanggani Jason berlari menuju kamar medis Jason setelah membalas ucapan Vivian.

Ingin menyusul langkah dokter detik, mendadak kedua kaki Vivian melemas, pandangan ia menjadi dua. Dinding-dinding berwarna putih di sekeliling tampak bergoyang memabukkan dan langit koridor rumah sakit—plafon putih menggantung di atas kepala Vivian terlihat membengkak lalu menipis dan menjadi tak seimbang, seluruh keseimbangan di depan tak beraturan dari pandangan mata Vivian.

"Ada apa denganku?" Vivian bertanya sendiri dalam kebingungan sambil memegang kepala. "Mungkinkah karena aku menangis ketika tadi, hingga terasa le-lah?"

Pandangan di depan terlihat lebih buram dari pada sebelumnya dan samar-samar Vivian mendengar langkah kaki seseorang ketika tubuhnya merasakan dingin lantai yang terasa sangat menusuk pada tulang-tulang badan. Cahaya di depan tiba-tiba meredup, gelap mendominasi pandangan mata Vivian. Kini tak ada suara ataupun cahaya, semuanya kosong.

Suara-suara aneh terdengar. Derit sebuah roda dorong, denting-denting besi lalu suara percakapan singkat. Semua suara itu menjadi gangguan dalam alam tak sadar dan berusaha mendorong kekuatan sadar akan sesuatu yang tak diketahui Vivian.

Mata Vivian akhirnya terbuka dan tanpa suara Vivian melihat sekitar. Ia perlahan mengingat apa yang terjadi.

"Oh, akhirnya Anda sudah sadar. Anda bisa mendengar suara saya, Nona?"

Seorang bertanya dalam nada suara feminim dan tentunya orang itu berjubah putih.

"Di mana ... dan siapa?"

"Anda di Rumah Sakit, Nona. Saya seorang Dokter."

"Apa sesuatu terjadi padaku?"

"Salah satu perawat menemukan Anda pingsan dan terbaring di lantai koridor rumah sakit." Dokter tersebut menjawab pertanyaan Vivian. "Apa Anda mengingat nama Anda?"

Jeda, jeda sesaat. Kemudian keheningan itu berakhir cepat. "Ya. Vivian. Namaku Vivian."

"Syukurlah Anda mengingat nama Anda. Jangan cemaskan hal lain dulu."

"Jadi kenapa aku pingsan?"

"Anda terlalu lelah. Saya harap Anda mulai berhati-hati dari sekarang dan kandungan Anda masih baik-baik selama kurang lebih dua minggu. Mungkin tidak lama akan masuk sebulan. Tapi tetaplah berhati-hati, Nona."

Vivian mendadak terpaku mendengar kata-kata dokter.

'Kandungan? Berhati-hati? Kurang lebih dua minggu?'

Vivian segera bangun dari tidur dan menatap serius kepada sang Dokter. "Aku tidak mungkin—dokter tidak salah?" Vivian menggelengkan kepala dengan wajah penuh kebingungan.

"Saya tentu saja tidak akan salah, Nona." Nada suara sang Dokter memberitahu terdengar serius. Vivian melihat kening Dokter itu mengerut. "Jika Nona belum yakin, saya akan berikan hasil pemeriksaannya."

Dokter itu menuju meja panjang. Di sana tertata pulpen, beberapa buku-buku medis dan miniatur bentuk organ-organ tubuh manusia.

Vivian memerhatikan tangan sang dokter berjenis kelamin perempuan. Dia mengambil sesuatu di meja lalu melangkah mendekati Vivian.

Tepat di hadapan Vivian, dokter itu memberikan selembar kertas foto hasil sonogram. "Itu hasil pemeriksaan USG Anda. Dua embrio."

Tangan Vivian bergemetar memegang lembar sonogram diberikan sang dokter dan perlahan Vivian mengangkat kepala, menatap ke arah mata sang dokter dan mencari-cari bahwa itu tidak benar. Namun tersirat tak ada kebohongan dalam pancaran mata dokter itu.

"Anda dianugerahi bayi. Untuk jenis kelaminnya belum bisa dipastikan. Datang lagi ke rumah sakit setelah sebulan untuk memeriksa jenis kelamin."

Foto sonogram adalah bukti dan tak akan terelakan bahwa ada kehidupan yang telah tumbuh dengan Vivian, seluruh pikiran Vivian tidak dapat mencerna informasi dikatakan sang dokter bahkan ia belum pernah memikirkan mempunyai bayi dalam usia muda. Ia kehabisan kata-kata dan masalah besar ini akan lebih sulit dihadapi dibandingkan masalah kabur dari rumah. Ia benar-benar tak tahu harus melakukan apa untuk jiwa kecil telah tumbuh dalam dirinya tapi jika ia memutuskan ingin dua jiwa itu hidup, artinya ia akan lebih banyak menghadapi masalah.

Seraya melangkah menuju pintu keluar, bersamaan itu Vivian masih berpikir keras untuk kali pertama ia dihadapkan pada pilihan sulit dan rumit, antara memilih mempertahankan jiwa dalam tubuhnya atau sebaliknya. []

_______________________

Support me with vote and comments.
Thank you ...

Salam dan peluk hangat,
Ennve.

Behind Forbidden Love | #Vol (1). PPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang