we didn't listen to music together

50 10 0
                                    

Esoknya, hari Sabtu, sesuai jadwal kami ada kegiatan bersih-bersih di lingkungan fakultas. Ini juga termasuk dalam serangkaian acara ospek yang dilakukan di luar ruangan dan hanya berlangsung dari jam 7 pagi hingga jam 11 siang. Para mahasiswa baru pada masing-masing kelas diberi tugas untuk membawa peralatan kebersihan yang telah didiskusikan sehari sebelumnya melalui grup Whatsapp. Setiap kelas juga dibagi pada lokasi yang berbeda-beda. Kelasku mendapatkan taman kafetaria, dimana banyak meja kursi berjajar dengan pepohonan rindang di sekitarnya.

Setibanya kami pun berpencar hingga ke segala penjuru halaman. Selama hampir setengah jam aku dan teman-teman kelas C bergotong royong untuk membersihkan seperti plastik bungkus makanan yang berserakan sampai daun kering yang memenuhi selokan. Aktivitas yang dilakukan tentu tidak jauh dari menyapu atau memungut sampah. Pergesekan antara sapu dengan tanah tentu menyebabkan debu banyak berterbangan kesana kemari. Sehingga tak sedikit yang sudah mengantisipasi hal tersebut dengan menggunakan masker wajah atau sarung tangan.

"Kamu gak bawa masker?" Tanya seseorang seraya berjalan mendekatiku.

Aku pun menghentikan aktivitas dan mendongak, rupanya Kak Ace. Namun ada yang berbeda. Rambutnya yang sepundak kini diikat setengah. Hal yang baru ku temui itu mampu membuatku hanyut dalam lamunan selama sepersekian detik.

Hingga aku menggeleng kaku, "Enggak, Kak."

"Yah, debunya banyak nih. Aku juga gak bawa masker lain, tapi ada sapu tangan, mau pakai?" Tawar Kak Ace membuatku refleks menggeleng.

"Gak usah, Kak. Aku gak apa-apa kok, lagian udah biasa kena polusi debu di jalan kalau naik motor."

Sungguh alibi yang bagus. Mendadak aku terlupa jika mempunyai 20 macam alergi, dan salah satunya adalah debu.

"Yaudah, kamu nyapu di tempat sana aja yang sepi, jadinya gak banyak debu," Kak Ace menunjukkan lokasi yang berada di sebelah tangga. Memang sepi dan belum terjamah oleh anak-anak kelasku.

Tak lama kemudian Kak Ace pergi, bergegas membantu kembali para laki-laki kelasku untuk mengangkat karung sampah yang lagi-lagi sudah terisi penuh.

Aku pun pindah dari posisi awalku. Dan ternyata langkahku diikuti oleh beberapa teman perempuan sekelasku yang tampaknya juga terganggu dengan keadaan debu sekitar.

"Debunya banyak banget!" Keluh salah seorang diantara mereka seraya membenarkan posisi masker yang merosot.

Tak lama kemudian aku melanjutkan kegiatan bersih-bersih bersama dengan tiga perempuan lainnya. Posisi para anak laki-laki pun mulai bergeser ke arah lokasiku karena di tempat mereka sebelumnya ternyata sudah selesai dibersihkan. Hal tersebut membuat debu-debu itu kembali berdatangan. Apalagi mereka, anak laki-laki, sangat bersemangat dalam menjalani pekerjaan ini. Aku spontan terbatuk setelah berusaha menahannya sedari tadi.

"Kei, lo batuk-batuk mulu, gak mau istirahat aja? Atau minum dulu gitu," saran salah satu seorang temanku.

"Enggak deh, lagi pula bentar lagi kelar," ucapku seraya menunjuk sampah dedaunan kering di depanku.

"Ih, tapi hidung lo udah merah gitu."

"Seriusan deh, gueㅡ"

"Ada apa nih? Kantong sampahnya kurang kah?"

Kak Ace tiba-tiba saja datang seraya menurunkan masker, membuat hidung mancung beserta bibir merah muda tebalnya kini terekspos.

"Ini Kak, si Kei batuk-batuk mulu gara-gara debu, udah saya suruh istirahat dipinggir malah gak mau."

Lensa gelap Kak Ace kini sepenuhnya tertuju padaku, "Kenapa gak mau istirahat di pinggir?"

"U-Uhm, gak apa-apa sih, Kak. Lagi pula bentar lagi kelar kan?"

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang