i didn't know anything

12 4 3
                                    

"Kenapa ya?" Aku bertanya was-was.

"Ah, iya, jadi aku ini kakaknya Ace. Dan aku mau ketemu sama dia."

"Mungkin bisa dihubungin aja orangnya, Kak," ucapku sopan, sekaligus bertujuan untuk memancing jawaban yang aku harapkan darinya.

Sosoknya termangu sesaat, seolah berusaha keras memberikan alasan terbaiknya, "Aku udah hubungi tapi gak diangkat. Udah aku datangi kosnya, tapi ternyata dia pindah."

Jawabannya itu semakin membuatku curiga. Seorang kakak yang tidak tahu kepindahan kos adiknya sendiri di perantauan tentu membuatku terkejut dibalik wajah datar ini.

"Kamu kenal dia? Dari jurusan seni rupa juga kah?"

Aku buru-buru menggeleng, "E-Enggak. Saya dari jurusan fotografi angkatan 22."

"Tapi kenal sama Ace gak ya? Kayaknya dia anak famous—"

"M-Maaf, tapi saya gak kenal. Cuma tau aja kalau ada senior dengan nama itu di jurusan seni rupa."

Perempuan itu mengangguk paham, "Oh, gitu. Oke, kalau gitu makasih ya."

"Sama-sama, Kak."

Gawat. Rasa panik mulai menjalar ke sekujur tubuhku.

Namun ketika aku hendak melangkah pergi untuk mencari Kak Ace, tiba-tiba saja ia kembali menahanku.

"Eh, semisalnya kamu lihat, tolong hubungi aku ya."

Perempuan itu memberikan sebuah kartu nama dengan sebuah perusahaan ternama tercetak di sana. Aku lantas menerimanya dengan perlahan.

"Ciri-cirinya punya rambut hitam lurus dan cepak, hidungnya mancung, tinggi sekitar 175an lebih, dan sukanya pakai aksesoris kayak gelang, cincin, kalung, dan kayaknya tindik juga deh." Ia menjelaskannya dengan percaya diri.

Aku terpaku mendengarnya. Rambut cepak? Memang kapan terakhir kali dia bertemu dengan adiknya secara langsung?

"Mungkin bisa tanyakan juga ke senior kenalanmu ya, siapa tau kenal. Makasih."

Kemudian, sosoknya pun berlalu, meninggalkan aku yang dibuat runyam setelah membaca isi kartu nama yang diberikan.

Tertera nama 'Ava Pricilla' di sana sebagai Kepala Divisi Pemasaran di perusahan makanan ternama, yaitu PT. Arasha Wira Internasional. Hal itu tentu membuat ingatanku jatuh pada percakapan singkatku dengan Kak Ace beberapa saat lalu ketika di perjalanan.

Ia dengan wajahnya yang berubah muram tiba-tiba saja membuka pembicaraan terkait keluarganya.

"Papa tiriku punya perusahaan, aku selalu ditunjuk jadi penerusnya. Tapi aku gak mau," ucapnya di atas motor dengan pandangan lurus ke depan.

Aku mengerutkan kening, "Kenapa?"

Saat itu aku kebingungan, bukankah kehidupannya akan sangat terjamin jika ia menerimanya?

"Aku mau melukis seumur hidupku, Kei."

Lalu begitu mendengar penjelasan itu, langsung mampu menyingkirkan segala pemikiran naifku.

"Tapi kakakku, dia pengen banget posisi itu," tambahnya beberapa saat setelah keheningan di atas motor.

"Bukannya bagus ya, Kak? Jadi kakak bisa fokus sama bidang seni."

Kak Ace justru tersenyum getir, "Gak segampang itu. Dan aku gak akan pernah mau ketemu dia, walaupun ada kesempatan."

Setahuku, hubungan Kak Ace dengan kakak perempuannya memang tidak baik. Aku sendiri tidak terlalu paham apa saja yang tengah terjadi diantara keduanya selama ini. Meski awalnya merasa tidak perlu terlalu ikut campur dengan persoalan pribadinya. Namun kenyataannya, hari yang tidak pernah dinantikan oleh Kak Ace pun kini datang juga. Dan mau tidak mau, aku harus terlibat.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang