you said what was on your mind [part 2]

16 7 0
                                    

"Soalnya dari omongan Pak Rumi tadi, seolah-olah bilang kalau Kak Ace pernah ke sini buat ngelakuin hal yang sama."

Ia tersenyum getir sebelum pada akhirnya mengangguk-angguk pelan, "Iya dulu pernah. Waktu itu aku kacau banget, semua barang dikos lama aku hancur gara-gara itu. Terus gak sengaja nemu tempat ini, kenalan sama Pak Rumi dan langsung punya ide buat bikin anger room veersi aku sendiri, di sini."

Ah, begitu rupanya.

"Aku dateng terus selama dua minggu dan pada akhirnya aku bisa merasa lebih baikkan. Setelah itu aku berusaha cari kesibukan dan ternyata Pak Rumi ijinin aku buat otak-atik barang dia yang udah gak layak jual. Selama kurang dari dua bulan aku bisa bikin karya, yang sekarang dipajang di taman utama fakultas kita," tambahnya.

Aku langsung membulatkan mata, "Patung perempuan bersayap besi itu?"

Ia mengangguk, "Iya. Bagianku cuma yang sayap itu sih. Patungnya itu sebenarnya sampah, mau dibuang sama staff birokrasi dan diganti yang baru. Tapi akhirnya dibikin ulang kerja sama antara dua anak seni kriya dan satu anak seni rupa, yaitu aku."

"Wah, keren banget. Dari awal ospek aku langsung suka sama patung itu," sahutku kagum.

"Lebih suka sama patungnya atau sama senimannya?"

Pertanyaan itu mampu membuatku linglung, "Hah?"

Kemudian ia terkekeh seraya beranjak dari kursi, "Yuk, pergi lagi."

"Kemana Kak?"

Ia menghela napas, "Kalau sama aku jangan tanya. Tapi jawab aja mau atau enggak."

"Kalau gak mau gimana?" Godaku.

"Nyesel seumur hidup," ucapnya lebay membuatku terkekeh.

"Yaudah iya, mau."

Setelah memberikan uang kepada Pak Rumi atas penyewaan tempat dan barang bekasnya, kami pun kembali menyusuri jalanan. Selama beberapa saat kami hanya mengobrol ringan terkait nama restoran yang familiar atau tentang macetnya jalanan kota. Sampai tiba-tiba saja Kak Ace bertanya sesuatu hal yang random.

"Kamu suka bunga?"

"Suka."

"Bunga jenis apa?"

Aku berpikir sejenak, "Matahari mungkin? Gak tau juga sih Kak, jarang ngoleksi bunga di rumah."

"Oke."

Setelah mengucapkan satu kata itu, ia langsung berbelok secara tiba-tiba ke sebuah gang. Jalur itu pun mengarahkan kami ke sebuah toko bunga kecil yang bahkan tidak pernah ku sadari keberadaannya meski sudah lama tinggal di kota ini.

Ia menyuruhku menunggu di luar. Sehingga aku hanya bisa memperhatikan bagaimana sosoknya memasuki toko, mengambil setangkai bunga matahari, dan membayarnya dikasir. Setelah keluar dari sana, ia menyerahkan setangkai bunga matahari itu kepadaku.

"Nih."

Aku yang berusaha menahan diri agar tidak tersipu lantas bertanya, "Dalam rangka apa nih, Kak?"

"Hadiah, karena kamu udah berhasil melepas stress kamu."

Aku tersenyum malu, "Makasih."

"Habis ini aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Sebenernya lebih bagus kalau malam sih pemandangannya. Tapi kalau siang juga masih oke kok, malah lebih sepi."

Kini bukan lagi 'dimana' atau 'kemana', aku membalasnya dengan kata yang berbeda, "Oke, boleh."

Ia tersenyum, puas mendengar jawabanku. Sebelum menuju ke suatu tempat yang dimaksud Kak Ace, kami berhenti dulu di pombensin. Kak Ace mengisi bahan bakar untuk motornya dan aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil serta melihat kondisi diri dicermin toilet.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang