we had never met [prologue]

91 5 0
                                    

"Kamu jangan suka sama aku ya."

Aku membelalak dengan pandangan kacau entah kemana. Kepalaku pening, sesak didadaku terasa menyiksa hingga membuat tubuhku hampir terhuyung ke samping. Bibirku untuk sesaat tidak bisa diajak kompromi, enggan untuk menyunggingkan senyum sedikitpun meski itu palsu.

Sejak awal, kami memang tidak memiliki status yang jelas. Tapi jika membandingkan semua kenangan kami dengan apa yang ia katakan barusan tetap saja terasa aneh bagiku. Tidak relevan.

Lalu apa yang hendak ia jelaskan dari ciuman yang ia berikan beberapa hari lalu? Juga dengan segala pujian dan gombalan kelas kakap yang ia utarakan padaku? Apakah semua itu membuatku jadi mudah melakukan sesuai dengan apa yang ia minta agar tidak menyukainya?

Namun aku yang tidak pernah menduga hal ini akan terjadi, ditambah dengan nyaliku yang selalu ciut saat berhadapan dengannya, hanya bisa terdiam sesaat dan berakhir mengucapkan sesuatu yang berbanding terbalik dengan isi kepalaku.

"A-Ah, iya. Enggak bakal kok, Kak."

Bodoh.

Aku benar-benar bodoh.

Sedetik kemudian, ia menghembus napas lega dengan sebuah senyuman lebar di sana, "Bagus deh. Aku udah khawatir kalau kamu baper atau gimana," kemudian ia terkekeh, tiada beban.

Sungguh, aku tak menyangka jika kepercayaanku selama ini, tentang anggapan dirinya adalah yang terbaik, malah berakhir dikhianati.

Walau terasa pilu, aku memaksakan untuk tetap tersenyum. Setidaknya aku tidak boleh terlihat menyedihkan meski topeng ini menyiksa. Ia menatapku beberapa saat, berusaha mengecek keadaan, dan berakhir dengan menepuk pundakku lembut sebanyak dua kali.

"Jangan sedih gitu dong."

Jantungku seolah diremas kuat, membuat sesaknya menjadi jauh lebih terasa menyiksa. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menitikkan air mata disaat kedua kaki serta tubuhku melemas. Kepalaku pening dan lidahku kelu selama sepersekian detik. 

Kini semuanya sudah jelas. Ia mempermainkanku.

Sekaligus mengejekku.

Dan jika tujuannya tercapai— yang tak lain adalah membuatku sakit hati— itu pasti akan membuatnya semakin senang. Maka, aku pun berusaha menguatkan diri agar tidak terlihat seperti pribadi yang telah dipatahkan hatinya.

"Santai aja, Kak. Aku juga punya beberapa teman kayak kakak kok, yang baik dan sering ajak aku jalan. Jadi udah biasa," alibiku.

Lebih tepatnya sudah biasa dicampakkan.

Ia mengangguk-angguk pelan, "Teman-teman SMA ya?"

Aku mengangguk, "Yap." 

Lalu kami meneruskan langkah seolah tidak terjadi apa-apa.

Selama beberapa saat kami hanya berjalan beriringan tanpa obrolan menuju ke tempat parkir. Hal itu karena mendadak ia sibuk dengan ponselnya. Dan aku merasa semua akan tetap baik-baik saja asalkan aku bisa segera pulang ke rumah dan melepas segala penatku di sana.

Namun sialnya, setelah beralih dari menjawab pesan seseorang, tiba-tiba saja ia merangkulku dengan tangan kirinya dan menatapku terang-terangan, "Kamu lapar gak? Makan dulu yuk."

Perilakunya sontak membuatku terhenyak. Sepasang lensa ini refleks bergulir menatap manik matanya yang sempat ku dambakan. Yang selama ini terbayang hingga membuat hatiku menghangat dalam sekejap. Yang membuatku selalu berharap jika aku dan dia bisa menjadi bersama. Tapi semua perlahan sirna tepat pada detik berikutnya.

Rasa kagum ini berubah menjadi muak.

Dan untuk kali pertama, aku membenci bagaimana kedua mata indahnya itu terus menatapku begitu dalam, meski yang muncul dari bibirnya justru pernyataan yang menyakitkan.

Ingin sekali ku menolak. Tapi gengsi dianggap sebagai perempuan yang ingin buru-buru pulang karena terlalu galau, membuatku pada akhirnya lantas menerima ajakannya.

"Boleh."

"Oke. Aku punya rekomendasi tempat makan enak—"

Ia melanjutkan penjelasannya dengan panjang lebar. Sesekali kekehannya muncul, namun tak ada satupun kata dari bibirnya mampu otakku resapi dengan baik. Pikiranku kosong, melayang entah kemana, segala yang ada di hadapanku seolah buram, tak bermakna. Dan seluruh perlakukan manisnya itu tidak lagi mempan kepadaku selama sesaat, justru terasa asing dan menyiksa.

Kini mulai terpikirkan olehku sebuah penyesalan.

Seandainya saja aku tidak pernah bertemu dengannya, aku tidak akan merasa sebodoh ini.



if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang