"Eh ralat," ia memasang wajah jenaka saat mengingat suatu hal. "Kamu kan masuk golongan yang ganteng-ganteng di kelas C." [chapter 14]
Ia yang terkekeh membuatku terpaksa tersenyum, meski sebenarnya enggan. Apa ini yang namanya dipermainkan? Tapi bagaimana jika sifatnya memang seperti itu? Suka bercanda dan tidak berniat serius akan semua kalimat yang ia utarakan.
"Ah, iya Kak hahaha." Senyum dan tawa palsu yang begitu meyakinkan.
Aku menghela napas panjang setelah berdebat lama antara logika dan hati. Kali ini logika yang menang. Sepertinya aku harus mengabaikan segala perkataan dan sikap lelaki itu. Benar, aku harus bisa menganggap bahwa dirinya seperti teman-temanku yang lain.
Aku tidak boleh langsung menjatuhkan hatiku pada setiap gerakan yang ia tujukan kepadaku. Tidah boleh.
"Udah dapet kupu-kupunya Kak?"
Aku bertanya saat kami melewati turunan anak tangga yang akan membawa kami sampai ke tanah lapang dekat jembatan.
"Udah."
"Tapi perasaan tadi gak ada kupu-kupu deh."
"Ada kok. Kamu gak lihat aja."
"Ohh."
"Foto berdua mau gak?" Ia menawarkan secara tiba-tiba.
Aku kebingungan selama sesaat. Tapi sosoknya sudah langsung merogoh kantong celana dan mengeluarkan sebuah benda pipih. Kemudian, setelah menekan fitur kamera depan, ia mengangkat tinggi tangan kanannya hingga pada layar menampakkan wajah kami berdua.
Aku lantas tersenyum dan bergaya sebanyak beberapa kali di depan kamera depan ponsel itu. Meski tidak sempat berfoto bersama saat perpisahan ospek fakultas, setidaknya sekarang kami memiliki foto kenang-kenangan meski di luar kampus.
Rasa tenang terasa damai setelah berhasil menguasai diri untuk tidak langsung jatuh hati kepada ajakannya itu. Lagipula, foto bersama hanyalah sebuah tawaran biasa, yang bahkan sering dilakukan para penggemar perempuan kepada lelaki itu saat melewati lorong gedung.
Hingga baru ku sadari satu hal.
"Yuk, lanjut jalan."
Jika ajakan selfie memang sudah biasa diutarakan para penggemar Kak Ace. Tapi kali ini berbeda. Bukan aku, melainkan dia yang berinisiatif memintaku untuk foto bersama.
Aku menegak salivaku kuat. Apakah ini yang dinamakan kesempatan langka?
"Ini foto buat aku kirim ke temen-temenku. Bukti kalau aku sama kamu lagi cari bahan buat lomba."
Aku mendelik, "E-Eh, Kak jangan! Aduh malu banget. Mendingan kirim foto pemandangan aja. Jangan ada mukaku."
Bagaimana bisa wajah berminyak dan berkeringat seperti ini harus bersanding dengan wajah tampannya? Ditambah jika harus dikirimkan ke grup obrolan para senior hits yang bahkan belum ku kenali namanya, selain orang yang bernama Felix.
"Iya, iya. Santai aja dong. Tapi dengan ini kita udah ada foto bareng kan ya? Waktu itu kamu lupa gak sih pas perpisahan ospek jurusan?"
Aku mengangguk, "Iya Kak. Tapi tetep beda gak sih vibes-nya antara di kampus sama enggak?"
"Oh, gitu ya?" Ia berpikir sejenak, "Kalau gitu masih ada kesempatan di closing ospek universitas. Kita bisa foto bareng, tinggal minta langsung ke aku aja."
"Oke Kak siap!"
Kami melanjutkan langkah seraya melihat pemandangan sekitar. Begitu tiba di anak tangga terakhir, otakku yang kepikiran akan suatu hal lantas membuatku spontan bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
if only,
RomansaKeira bertemu dengannya Agustus lalu, saat hari pertama ospek fakultas dilaksanakan. Semula yang terasa hanyalah percikan, bisa terabai. Tapi bagaimana ia bertutur dan berperilaku, pada akhirnya Keira merasa jatuh. Meski selama itu, tiada kata pasti...
