my father wasn't being overprotective

35 8 0
                                    

Sesampainya di area parkir kos— atau mungkin bisa dibilang apartement— dimana Kak Ace tinggal, aku melongo. Aneh, mengapa aku terkejut padahal penampilan lelaki itu memang terlihat sangat mahal. Ia meletakkan vespanya di basement. Sedangkan kamarnya berada di lantai 18. Kami harus menaiki lift hingga mencapai ruangan itu.

Padahal Kak Ace terus melemparkan candaan, namun keresahan yang kurasakan tidak dapat terpungkiri lagi. Aku akan benar-benar tiba di kos, bukan, maksudku kamar apartement tempat lelaki itu tinggal! Ini sangat mendebarkan. Menantikan pintu lift terbuka seperti menunggu giliran untuk maju presentasi.

Dan saat itu terjadi, aku menghela napas panjang dan mengambil langkah maju. Pintu lift terbuka, dan aku siap bilang kepada Kak Ace saat melangkah keluar apabila—

"Mau kemana?"

Aku membalikkan badan dan menemukan Kak Ace masih di dalam lift. Eh?

"Ini masih lantai 10."

Ia buru-buru menekan sebuah tombol agar pintu otomatis tetap terbuka. Aku mengangguk pelan dan dengan gerakan kaku, aku kembali memasuki bilik kecil itu. Sial. Aku benar-benar malu.

"Kayaknya tadi ada yang iseng tekan tombol lift-nya biar kebuka."

"Ah, i-iya Kak."

Itu adalah jawaban singkat yang mampu ku utarakan karena pikiranku yang melayang entah kemana akibat rasa malu. Setelahnya hening, hanya ada bunyi getaran dari ponsel Kak Ace selama beberapa kali, namun ia abaikan. Dan ketika tiba di lantai 16, ponselku berbunyi nyaring, tanda sebuah panggilan masuk.

Saat mengecek yang terpampang di sana adalah 'Mama', lantas membuatku menegak saliva kuat-kuat.

"Dari Mama? Angkat aja."

Kak Ace menyadari panggilan itu dari siapa saat pintu lift terbuka di lantai 18. Kami keluar dari sana, sedangkan telpon itu masih ada dan belum ku angkat.

"Kak aku—"

"Kamu di luar aja ya, ada ruang tamu buat duduk-duduk kok."

Itulah yang hendak ku sampaikan padanya saat keluar dari lift. Aku sempat berpikir bahwa dia akan mempersilahkanku masuk ke kamarnya, makanya aku sengaja merancang kalimat untuk menolak dan menyampaikan bahwa aku akan menunggu di luar. Tapi tawaran yang ia utarakan itu ternyata lebih baik dari dugaanku.

Aku tersenyum, "Oke Kak."

"Aku sekalian mau ganti baju sama siapin kameraku. Jadi, tunggu bentar ya."

"Gakpapa kok Kak santai aja."

"Oke." Ia tersenyum.

Aku pun mengangkat panggilan Mama seraya berjalan mengikuti Kak Ace.

"Halo, Ma?"

"Kamu pergi sama siapa?"

"Oh, ini temen aku di kampus Ma. Dia ... senior sih, yang bimbing aku waktu ospek fakultas. Aku cuma mau anter dia ke daerah Gunung Ghani kok bantuin dia ikut lomba fotografi."

Langkah kami terhenti sebuah ruangan terbuka yang terdapat sederet sofa, meja, rak berisikan buku, dispensi beserta cup gelas plastik, serta cemilan kering. Kak Ace menunjuk tempat itu dan ku selingi anggukan, kemudian ia memberi kode bahwa ia akan pergi ke kamarnya.

"Berarti senior itu kamu udah kenal ya?"

"Iya udah Ma, dia baik kok, aku lumayan akrab sama dia," ucapku saat Kak Ace sudah berlalu.

"Yaudah, yang penting kamu bisa jaga diri dan jangan sampai pulang terlalu larut. Jalan di sana agak seram loh kalau malam."

Aku menjatuhkan pantat di atas sofa yang empuk berwarna abu-abu.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang