Sebenarnya ada pilihan lain. Tapi entah mengapa jika itu tentang dirinya, aku seolah bertingkah seolah tidak ada pilihan lain untuk mengikutinya, meski tidak memiliki bayangan terkait kemana kita akan pergi.
Seperti biasa, aku menunggu di pojok parkiran, dan saat ia tiba dengan vespa putih, aku buru-buru naik ke jok belakangnya. Setelahnya kami pun mengarungi jalan Tanjung yang keramaiannya terbilang normal karena waktu masih menunjukkan sekitar pukul 10 pagi.
"Mau kemana sih?" Aku bertanya saat motor Kak Ace membawa kami ke daerah yang belum sempat aku kenali lebih dalam.
"Ajak kamu jalan-jalan."
Aku yang semula percaya mendadak ragu ketika motor Kak Ace terhenti di depan sebuah toko bangunan.
"Mau beli apa Kak?"
"Ada deh."
Ia bergegas memasuki ruko, namun melangkah keluar selang beberapa detik setelahnya. Tidak ada satu barang yang terbeli membuatku menyangka bahwa ia tidak mendapatkan barang yang ia inginkan.
"Kenapa Kak? Barangnya habis?"
"Gak jual," jawabnya seraya menyalakan lagi mesin motornya.
"Emang butuh apa sih? Cat? Alat pahat?" Aku bertanya-tanya.
"Ada pokoknya."
Dan jawabannya terus begitu. Meski sudah tiga toko bangunan di daerah Tanjung yang sudah kami datangi, namun tetap nihil. Barang misterius yang ia cari juga belum terbeli. Mungkin karena itu, Kak Ace membawa kami keluar area Tanjung, memasuki daerah-daerah yang sering ku lewati jika ingin pergi ke pusat kota. Sampai kami tiba di sebuah toko pinggir jalan raya, dengan papan 'Pusat Alat Keselamatan' terpampang besar di sana.
Aku dan Kak Ace masuk secara beriringan. Begitu melihat isi barang-barang yang dijual di dalam sana membuatku bertanya-tanya. Apa yang tengah ia rencanakan sampai membutuhkan salah satu alat keselamatan kerja? Apa jangan-jangan ia ingin melakukan proyek menggunakan bahan-bahan berat seperti logam yang sampai menimbulkan percikan api?
Aku yang sibuk memperhatikan sekitar sampai tidak sadar bahwa Kak Ace sudah mengambil sebuah face shield helmet dan tengah membayarnya di kasir. Aku menghampirinya dengan raut keheranan.
"Kakak ada proyek yang butuh APD ya?"
Ia justru tersenyum seraya menggeleng. Setelah menerima uang kembalian, ia pun menyerahkan barang itu kepadaku, "Buat kamu."
Kemudian ia melangkah terlebih dahulu, meninggalkanku yang kebingungan, "Kenapa Kak?" Tanyaku setelah berhasil menyusul langkahnya.
"Karena aku udah punya dan kamu belum."
Balasannya sungguh tidak menjawab.
"Bukan itu, maksudku kenapa harus beli ini? Emang mau kemana sih? Kak Ace juga beliin aku pakai duit kakak, aku jadi ngerasa gak enak—"
"Pertanyaanya disimpen nanti ya." Ia memotong pertanyaanku seraya kembali menaiki motor.
Aku lantas menaiki motor dan sesuai dengan permintaannya, kami terus diam saat membelah jalanan kota yang ramai. Sampai pada akhirnya kami berbelok pada sebuah gang kecil yang hanya muat dilewati satu mobil. Semakin lama menyelusuri jalanan asing itu membuatku semakin tak memiliki ide ke tempat mana kita akan berakhir.
Aku yang semula berpikiran bahwa Kak Ace akan membawaku ke sebuah tempat proyek dimana ia akan berkarya di sana, ternyata malah berakhir di lokasi tempat jual-beli barang rongsokan. Sepanjang jalan gang itu penuh akan kios-kios kumuh dengan segala macam barang lusuh yang terjejer di depannya. Selain itu ada juga yang hanya menggelar tikar di pinggir jalan dan memajang barang jualan berukuran kecil seperti jam tangan atau ponsel. Kami melewati para pejalan kaki yang berlalu lalang, juga para calon pembeli yang sibuk memberikan harga yang ia inginkan kepada penjual. Selain itu, musik keroncong yang sumbernya dari entah berantah, juga terdengar menghiasi suasana area tersebut yang ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
if only,
RomanceKeira bertemu dengannya Agustus lalu, saat hari pertama ospek fakultas dilaksanakan. Semula yang terasa hanyalah percikan, bisa terabai. Tapi bagaimana ia bertutur dan berperilaku, pada akhirnya Keira merasa jatuh. Meski selama itu, tiada kata pasti...
