this nightmare didn't happen [part 4]

14 6 0
                                    

"Kak." Tanpa sadar aku mengucapkannya dengan nada yang sedikit tinggi sampai membuat keduanya spontan menatapku kebingungan, "Maaf, m-maksudku itu Kak Ace."

Ia menatapku beberapa saat sebelum berkata, "Gimana? Aku bisa bantuin buat bilang ke BEM kok kalau ini cuma masalah pribadi aja. Aku gak yakin mereka bakal—"

"Gakpapa kok Kak. Lagipula emang ada sangkut pautnya sama aku juga. Mungkin setidaknya aku harus jelasin ke BEM, karena kejadiannya masih di lingkungan fakultas," ucapku membuatnya bungkam. "Tapi boleh minta tolong sampaikan ke Kak Felix gak ya? Kalau aku bisanya ke ruang BEM besok pagi." Aku beralih menatap Eliza.

"Ide bagus. Pasti kamu capek ya. Habis ini kamu langsung pulang aja, makan, mandi, terus tidur. Kalau gak enak badan, besok gak usah berangkat kuliah dulu aja."

"Sampaikan juga ke Felix, pertanyaannya gak usah terlalu memaksa." Kak Ace berucap kepada Eliza yang langsung mendengus sebal.

"Iya, iya. Terus— oh iya, Keira, kamu pulang naik apa? Pulang naik motor, mobil, atau ojol?"

"Naik ojol Kak."

"Oke, kalau gitu nanti aku temenin kamu pas nunggu ojolnya dateng ya— eh, bentar, Felix telpon." Ia langsung menekan tombol hijau dan menempelkan bagian speaker ke telinganya. "Halo? Iya aku masih di sini. Kenapa?"

Kemudian disusul dengan munculnya kerutan didahi gadis itu tanda kebingungan, "Hah? Map putih? Yang ada revisi proposal proker[1] kamu itu bukan? Bukannya udah aku kasihin ke kamu waktu pagi tadi?"

"Nanti aja ih, aku mau nemenin Keira nungguin ojol buat pulang." Ia mendengus sebal, "Hah? Butuh sekarang? Bukannya tadi niatnya mau bahas perkara orang yang kabur itu? Kenapa tiba-tiba ke proker? Hah? Itu tugasnya bidang kesma[2]? Kenapa gak kamu aja sih? Kan kamu juga kabid[3]. Iya, aku tahu kamu kabid mikat[4], tapi mungkin bisa ikut nimbrung mereka gitu."

Ia terus membalas suara Kak Felix diujung telpon dengan kalimat protes, sampai satu kalimat terakhir pun terucap sebelum panggilan dimatikan, "Hadeh, ya udah deh aku ke sana!"

"Kenapa?"

"Gak tau nih map-nya kebawa gue. Katanya sih penting. Emangnya gak bisa ya revisi proposal proker sehari sebelum deadline?"

Kak Ace menatapnya sinis, seperti ia sangat memahami perasaan Kak Felix saat ini, "Mending lo pergi aja biar nyawa cowok lo aman ditangan sekretaris."

"Oke. Kalau gitu gue cabut bentar." Eliza beralih menatapku, "Tunggu aku balik ya, biar aku temenin pas nunggu ojolnya."

"Eh, gak usah gapa—"

"Udah deh, santai aja sama aku. Ace, jaga noh si Keira."

Ia hanya mengangguk hingga sosok Eliza— yang merupakan satu-satunya sumber kehangatan diantara aku dan Kak Ace— beranjak menjauh dari posisi. Kini, tersisa kami berdua diantara keheningan yang tercipta. Saking canggungnya sampai membuatku gemas sendiri. Sibuk bertanya-tanya kapan suasana kaku ini berakhir meski aku sendiri tidak memiliki ide untuk mencairkan suasana.

"Mau duduk dulu? Sambil nunggu Eliza."

Untung saja Kak Ace langsung bertindak. Meski aku masih belum terbiasa dengan aura tegang yang menyelimuti kami berdua, tapi setidaknya bukan suara jangkrik atau kodok di rerumputan yang menghiasi kesunyian malam ini.

Aku mengangguk, "B-Boleh, Kak."

"Gimana kalau di art gallery? Soalnya deket dari sini dan kebetulan tasku masih di sana."

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang