you wanted to go without my mother's permission

36 9 0
                                    

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha memahami maksud dibalik ajakannya.

"Kupu-kupu?"

Ia terkekeh, amat manis, "Belum aku kasih tau ya? Objek buat lomba fotografi, aku udah nentuin."

Jadi itu adalah kupu-kupu.

"Oalah, gitu ya Kak."

Aku mengalihkan pandangan, tampak merasa canggung sendiri. Pasti ada alasan dibalik ia memilih kupu-kupu. Sama seperti bagaimana ia memilih burung penghisap madu dari Hawaii itu sebagai inspirasi lukisannya.

"Jadi?"

"Jadi? Jadi apa ya?"

Sial. Aku salah tingkah, hingga tidak bisa fokus.

"Kamu mau gak pergi sama aku buat lihat kupu-kupu?"

Seandainya saja dia tidak mengajakku pergi untuk melihat kupu-kupu, aku tidak akan merasa segelisah ini.

"Oh, uhm, itu kapan ya Kak? Soalnya hari ini—"

Sepertinya keresahan membuatku terlihat ketara bahwa hendak membuat alasan supaya tidak berakhir pada hari ini.

"Besok?"

Astaga. Terlalu mepet.

"Nanti aku pikirin lagi deh, Kak."

"Tolong ya, kamu sendiri kan yang bilang aku harus buruan persiapan sebelum akhir bulan."

Kenapa kalimatnya seolah menekan bahwa aku harus ikut bersamanya? Dan mengapa harus aku? Bukannya ia adalah si lelaki famous dari Pelita Jaya? Seharusnya ia punya banyak teman yang bahkan rela mengantre agar bisa pergi dengannya.

"T-Tapi kenapa gak sama teman-teman kakak?"

"Selama bisa sama kamu, kenapa enggak?" Ucapan penuh daya tariknya kembali bermunculan, seolah menyihirku menjadi perempuan yang terasa spesial dengan hati berakhir tak berdaya.

Apakah itu semua karena diriku atau tentang apa yang ada didalam diriku?

Pertanyaanku pun langsung terjawab olehnya.

"Lagipula kamu anak fotografi, pasti udah berpengalaman. Dan juga orang asli kota ini, pasti bisa nunjukin lokasi hidden gem."

Ternyata opsi yang kedua.

Ia memperjelas bahwa ia mengajakku karena dua alasan kuat itu. Tapi ada benarnya juga. Aku yang dijurusan fotografi setidaknya bisa membantunya dalam hal teknik berfoto meski belum sepenuhnya mahir. Dan selama hidup, aku yang tinggal di kota ini, setidaknya bisa lebih memahami peta daerah. Serta dapat membantunya menemukan tempat-tempat menarik untuk spot berfoto yang jarang dijamah orang.

Menyadari hal tersebut membuatku menepis segala pemikiran bahwa lelaki sekeren itu akan menyukaiku. Tidak mungkin.

"Oke deh, Kak. Kabarin aja besok."

Benar. Pasti ia hanya berniat berteman. Lagipula masih terdengar menarik jika bisa berteman dengan kakak tingkat sepertinya.

"Oke. Kalau gitu aku pulang dulu."

Aku sangat yakin apabila ia bersikap baik selama ini tidak ada maksud tertentu. Aku tidak boleh mudah jatuh hati kepadanya. Karena ia hanya berniat menjalin pertemanan. Benar, aku sangat yakin itu.

Kemudian ia mengambil satu langkah mendekat, membuatku terkesiap.

"See you tomorrow, Keilola."

Ia mengucapkan kalimat itu dengan tangan yang secara terang-terangan mengusap puncak kepalaku sekilas.

Aku membatu di tempat, lidahku kelu tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Hingga tubuhnya melangkah menjauh menuju ke pintu aula, meninggalkanku seorang sendiri dengan posisi yang masih sama.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang