someone's call didn't come [part 2]

25 7 0
                                    

Kemudian kami melanjutkan percakapan seraya membahas tentang buku, apa saja yang sering kami baca, serta lokasi-lokasi toko buku bekas yang bak menyimpan harta karun tua yang amat berharga. Bedasarkan informasi yang kudapatkan, Kak Ace sangat menyukai buku dengan kategori self-acceptance. Salah satu buku yang ia rekomendasikan berjudul 'I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki' karya Baek Se Hee.

"Itu bagus banget. Kamu harus baca. Sama— oh! 'Who Move My Cheese' karya Dr. Spencer Johnson dan uhm— 'The Life Changing Magic of Tidying Up' karya Marie Kondo! Itu juga keren sih. Pokoknya kamu harus baca semua."

"Ah, iya. Aku pernah lihat buku-buku itu sebelumnya. Oke deh nanti coba aku baca."

Meski tidak pernah membaca salah satunya, tapi setidaknya aku familiar dengan beberapa judul yang ia sebutkan karena sering terpajang di rak terlaris pada toko buku. Kak Ace benar-benar meluangkan waktunya untuk buku-buku tipikal self-healing yang menenangkan pikiran.

"Sekarang gantian aku rekomendasikan buku ke kakak."

"Boleh. Apa tuh?"

"Grisha trilogy; Shadow and Bone, Seige and Storm, Ruin and Rising. Tiga-tiganya bagus, kakak harus baca. Buat buku pertama yang Shadow and Bone bahkan udah dibuat seriesnya loh di Netflix."

Sekilas ia mengerutkan alis, sepertinya apa yang ku sebutkan masih terdengar asing ditelinganya, "Oke deh nanti aku cari e-book-nya. Tapi ternyata selera bacaan kamu lebih mengejutkan dari yang aku duga ya." Ia tersenyum.

"Gatau nih akhir-akhir ini suka aja bacain novel fantasi gitu."

"Pasti kamu suka Harry Potter sama Narnia, iya kan?"

"Bisa jadi. Lagian siapa sih yang gak suka kedua series fantasi itu Kak?"

"Aku gak terlalu paham fantasi, jadi gak bisa bilang suka dan gak suka. Tapi karena kamu merekomendasikan, pasti bakal aku baca kok sama apa yang kamu sebutkan tadi."

"Emang tadi aku sebutin apa aja coba?"

Ia lekas berpikir, "Shadow and Rune gak sih?"

Aku tergelak, "Ding dong! Salah! Kok Shadow and Rune sih hahaha."

"Eh, apa ya? Ketikkin judulnya dong kalau gitu di Line."

"Tapi kalau emang gak suka juga gak usah dipaksain kali Kak."

"Apa sih yang enggak buat kamu," godanya membuatku terkekeh.

"Dih, apaan sih Kak." Aku membuang muka.

"Ih, murahan banget yak gombalanku." Ia sendiri mengakuinya dan berakhir kami tertawa bersama.

Kenapa saat bersama dengannya, suasana hatiku selalu meningkat berkali-kali lipat? Bahkan aku tidak pernah merasa seperti ini pada hubungan sebelumnya.

"Kamu mau aku fotoin lagi?"

Ia bertanya tepat saat kami berhasil meraih tanah lapang berumput dengan ukuran yang lumayan luas.

"Masa aku mulu. Kakak juga harus ku foto dong."

"Aduh, jangan deh. Aku lagi kucel jelek gini."

Dalam hati aku ingin berteriak, "JELEK DARIMANA?!". Tapi karena melihat situasi dan kondisi aku hanya menjawab seadanya dengan nada gemas.

"Yaampun enggak, Kak."

"Aku ambil foto di bagian sana dulu ya."

Ia mengalihkan pembicaraan seraya berjalan ke arah tempat yang ia tunjuk. Sedangkan aku mengikutinya dengan langkah lambat. Ku perhatian sekeliling yang masih terasa sejuk dan asri. Banyak pepohonan tumbuh di sana, rerumputan subur pada tanah lapang dipotong rapi, serta kawanan awan putih yang berarak menapaki langit biru cerah siang ini. Semua terlihat begitu menyenangkan dimata orang yang biasa hidup dihiruk-pikuk perkotaan.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang