Ia mengendurkan genggaman dan berakhir melepaskannya.
"Yaudah iya, mendingan kita jalan aja dulu, keburu sore."
Aku mengangguk.
Disaat yang bersamaan, ia melangkah maju mendahului, seraya memegangi kamera yang tengah menggantung dilehernya. Tak lama kemudian, ia sudah sibuk mengarahkan lensa kameranya ke beberapa titik terindah jika dilihat dari posisinya. Sedangkan aku masih membatu di tempat, seolah kedua kaki ini telah tertanam didalam tanah sehingga sulit untuk digerakkan. Ku tatap rikuh telapak tangan kiriku yang sebelumnya digenggam oleh Kak Ace.
Astaga. Ada apa denganku? Kenapa aku terus menatap telapak tangan seolah ada setumpuk emas muncul di sana secara tiba-tiba?
Aku lantas menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis segala khayalan yang akan menggelamku pada lamunan. Lalu ku alihkan pandangan ke arah Kak Ace yang berada beberapa meter di depanku. Sebelumnya ia melepas jaket kulitnya dan ia masukkan ke dalam tas. Yang tersisa hanyalah bagaimana sebuah kaus putih besar membalut bagian atas tubuhnya, ditambah celana jeans hitam, serta sepatu Nike Air Force 1 berwarna putih yang ada sedikit bercak noda akibat luntur. Rambutnya yang sedikit panjang ia biarkan apa adanya, dan saat terpapar sinar matahari ada sentuhan warna coklat yang tersembunyi dihelaiannya.
Aku melangkah mendekat, "Gimana? Bagus kan?" Tanyaku saat sudah tiba di sisinya.
Meski terkesan pamer kepada Kak Ace seolah-olah sangat memahami tempat ini, tapi sebenarnya sudah sangat lama sejak terakhir kali aku kemari. Maka dari itu, diam-diam aku juga mengamati dengan kagum kondisi terbaru Goa Kariyo yang indah.
Ia menurunkan kamera dan tersenyum, "Keren. Berarti emang tandanya kamu asli orang sini."
Aku menjadi tersipu, "Biasa aja kali."
"Kamu sering ke sini?"
Kami berdua berjalan menyusuri jembatan besar dengan sisi kanan dan kiri berupa sungai dengan air yang tenang.
Aku menggeleng, "Terakhir waktu sekolah dasar, itu aja sama keluarga."
Dan sejak saat itu, aku hampir tidak pernah berkunjung lagi, hingga hari ini tiba.
"Dulu juga sebagus ini?"
"Enggak. Gak terawat. Lagipula dulu cuma mampir di area lapangan deket parkiran tadi buat kasih makan monyet."
Kondisi lingkungan ini sepuluh tahun lalu bisa terbilang tidak terawat, sungai tak sejernih ini, banyak tanaman dan pepohonan liar yang tidak terurus. Bahkan, dari dulu sampai sekarang aku tidak mengetahui letak pasti dari 'goa' yang dimaksud, karena tidak pernah memiliki kesempatan untuk tiba sampai puncak bukit.
"Jadi kamu belum pernah sampai ke dalam sana?" Ia menujuk lurus ke arah anak tangga pada bukit di seberang jembatan.
Aku menggeleng, "Bahkan aku gak tahu posisi goanya tuh dimana."
"Yah, aku tarik lagi pujianku deh." Ia berucap dengan nada bercanda membuatku sempat memandangnya dengan wajah cemberut selama sesaat.
"Yaudah yuk, ke bukit sana. Aku temenin kamu, karena belum pernah ke sana."
"Lah, kakak juga belum pernah ke sana juga tau!"
Ia terkekeh, "Iya, berarti kita saling menemani. Adil kan?"
"Iya deh iya."
Aku berusaha menahan senyum agar tidak terbit. Ia benar-benar bawel, tapi kenapa aku justru menyukainya dalam versi itu ketimbang harus bersikap dingin layaknya pangeran kerajaan yang sulit digapai.
"Gak sabar tangkap kupu-kupu."
"Oh, iya. Kupu-kupu."
Aku bahkan baru teringat akan hal tersebut. Dan secara tiba-tiba pula aku merasa penasaran, ada hal apa dibalik ia memilih hewan indah nan mungil itu sebagai objek foto? Ia terlihat tidak goyah meski ada alternatif lain seperti monyet yang jelas jumlahnya amat banyak dan tersebar di sepanjang jalan. Atau mungkin burung-burung liar yang berterbangan dari satu pohon ke pohon lain hingga menciptakan bunyi gemerisik pada dedaunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
if only,
RomanceKeira bertemu dengannya Agustus lalu, saat hari pertama ospek fakultas dilaksanakan. Semula yang terasa hanyalah percikan, bisa terabai. Tapi bagaimana ia bertutur dan berperilaku, pada akhirnya Keira merasa jatuh. Meski selama itu, tiada kata pasti...