you said what was on your mind [part 3]

16 4 0
                                    

Malamnya, seusai kelas malam jam 8, Kak Ace— yang sebelumnya telah menawariku boncengan pulang— lantas membawaku ke sebuah tempat makan ramai yang menjual ayam goreng kari kuah pedas. Ia sempat menantangku untuk makan di sini karena aku yang pernah mengaku bahwa menyukai pedas. Begitu tiba, ia memilih untuk mengantre dan memesankan menu andalan yang ada untuk kami di kasir. Sedangkan aku diminta untuk menunggu di salah satu meja dengan perasaan yang diam-diam kacau. Bahkan kedua tangan ini tidak bisa berhenti mengusap celana kainku resah akibat bayang-bayang kejadian beberapa jam yang lalu terus bermunculan disudut pikiran.

Sampai ia yang telah selesai melakukan pembayaran, melangkah mendekat dengan tatapan yang sempat berfokus pada layar ponsel digenggamannya.

"Makanan di sini enak banget. Cocok buat orang-orang yang suka pedas," ucapnya setelah berhasil mencapai kursi di hadapanku.

"A-Ah, i-iya Kak," balasku seraya mengalihkan pandangan.

Bodoh. Kenapa aku ketara sekali jika tengah gugup begini?

"Tadi kelas malam pertamamu ya? Kelas apa sih?" Ia meletakkan ponsel serta dompetnya diatas meja, lalu tangannya bergerak untuk menyangga kepalanya dengan sorot yang menatapku perhatian.

"Kewarganegaraan, K-Kak." Aku mulai kembali salah tingkah.

Ia mengangguk-angguk, "Kasian juga kalian para maba dapet kelas malem."

"Hahaha i-iya tuh gak tau."

Namun, meski aku bertingkah canggung, ia tetap terus berusaha mengajakku mengobrol santai sembari menunggu datangnya makanan. Tentang dosen-dosen perfeksionis, kisah horor di gedung seni musik, atau curhatan tentang padatnya jadwal mahasiswa yang mengikuti organisasi. Semua itu merupakan percakapan umum yang biasa terlontar diantara kami. Tapi sayangnya, reaksiku kali ini tidak bisa serupa dengan apa yang ku tunjukkan seperti biasanya. Aku hanya mampu membalas dengan kekehan kaku atau kalimat yang terdengar aneh seraya mengalihkan pandang beberapa kali.

Setelah kejadian siang tadi, aku merasa amat jatuh. Pasalnya, ini bukan hanya sekadar jalan berdua atau mengusap rambut karena gemas. Atau tentang bertukar gombal dan pujian melalui pesan di sosial media antar satu sama lain. Apa yang telah terjadi diantara kami adalah suatu hal yang memiliki dampak dan makna yang lebih besar.

Kami berciuman, dibibir.

Dan bukankah wajar jika aku merasa canggung sendiri karena ciuman itu adalah kali pertamaku?

"Kamu kenapa kok jadi pendiem gini? Kamu gak sakit kan?"

Aku menggeleng pelan, "Gakpapa Kak, c-cuma agak ngantuk aja."

Bukankah ciuman yang ia berikan itu memiliki tanda bahwa kita saling suka? Bukankah itu adalah lampu hijau bagiku yang selalu menantikan kepastian?

"Oalah, ngantuk hahaha. Makanya jangan suka begadang. Udah tau maba tuh banyak matkul, walaupun isinya banyak perkenalan doang, tapi setidaknya harus—"

Tapi mengapa, melihatnya yang bersikap kontras lantas membuatku keheranan. Kenapa ia bisa bersikap sesantai itu meski ada hal besar yang telah terjadi diantara kita? Ia sama sekali tidak terlihat canggung. Apa yang ia tunjukkan, baik ekspresi dan gelagatnya, masih terlihat sama seperti biasa. Seolah-olah kejadian tadi siang tidak pernah terjadi diantara kami.

Wajarkah aku bertanya-tanya?

Tentang apa sih yang kira-kira ada dipikirannya terhadapku. Terhadap kejadian siang tadi. Kenapa ia tidak memberi kejelasan atau mengungkit sedikit saja terkait hal tadi?

Aneh.

Seandainya saja dia mengatakan apa yang ada dipikirannya, maka aku tidak akan segundah ini.

Namun tetap saja, aku berusaha untuk menepis, menganggap bahwa semua itu hanya hasil dari spekulasi burukku saja. Aku yakin kejadian tadi siang akan membawa hal yang baru diantara kami, meskipun entah kapan hasilnya akan terlihat jelas.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang