this nightmare didn't happen [part 3]

17 7 0
                                    

Kak Ace datang dengan seorang gadis berambut hitam pendek yang bersembunyi belakangnya. Kemudian ia yang melihat tubuhku roboh, membuatnya sontak berlari mendekat. Namun usaha untuk mendatangiku justru dihalangi oleh Adam dengan sigapnya. Hal itu tentu menyebabkan perselisihan kembali terjalin antar keduanya.

"Anjing! Brengsek! Lo apain Keira?"

"Gak usah ikut campur!"

Selanjutnya bunyi pukulan serta umpatan saling beradu dari keduanya yang tenggelam dalam emosi. Bersamaan dengan itu, suara pekikan seorang gadis yang kuyakini adalah milik sosok yang sempat ku temukan tadi juga turut serta menghiasi heningnya malam sekitar. Keadaan sekeliling yang begitu menegangkan membuatku semakin tertekan. Kepalaku pening, dadaku sesak hingga membuatku kesulitan bernapas.

Aku terus memejamkan kedua mata dalam aura ketakutan. Sampai suara tubuh seseorang ambruk ke permukaan tanah membuat jantungku seolah merosot ke perut. Salah seorang tumbang, itu tandanya ada satu yang lebih unggul. Diam-diam aku berharap bahwa Kak Ace-lah yang berhasil menjatuhkan Adam. Namun ketika perlahan mengerjapkan kelopak mata, dan menyaksikan bagaimana sosok Kak Ace merintih seraya terbatuk-batuk dari jarak sedekat ini, mampu membuat napasku tercekat detik itu juga.

"Kak!"

Pengelihatanku mulai redup. Begitu pula dengan rasa bersalahku terhadap lelaki itu yang terus membebani pikiran. Apa yang terjadi terhadapnya hari ini disebabkan olehku. Semuanya. Karena diriku, ia mendapati suasana hati yang buruk. Dan karena diriku pula, ia harus terseret ke dalam masalah rumit seperti ini.

"Udah gue duga dari anak seni, lemah."

Tubuhku menegang begitu mendengar suara berat Adam yang disertai sebuah langkah yang mendekat. Dan dari bagaimana ia menepuk-nepuk pakaian serta kedua telapak tangannya sangatlah terkesan angkuh. Ia benar-benar keterlaluan.

"Ah, sampai mana tadi kita? Oh, baru inget— sampai lo yang kena mental cuma gara-gara gue sering main sama Farah. Cih, aneh, sumpah," gumamnya diujung kalimat namun masih bisa ku dengar dengan jelas karena jarak tipis diantara kami.

Kini, tiap kata yang terucap dari bibirnya, berhasil meruntuhkan dinding pertahananku dengan mudahnya.

Aku yang terperangkap dalam kesedihan hanya mampu menunduk dalam. Seluruh indra pada tubuh ini mulai tidak berfungsi. Begitu pula dengan seluruh emosi yang mendadak menghilang, hingga yang tersisa hanyalah rasa hampa yang begitu mencekam. Aku mematung di tempat, tidak bergerak, seolah-olah tubuhku sudah menjadi satu dengan tanah.

Adam semakin merapatkan tubuhnya dengan berjongkok disebelahku, "Heh, lagipula nih ya, waktu itu kita belum pacaran. Jadi gue bebas dong main sama siapa aja."

Semua ini hanyalah antara aku yang memenangkan debat atau justru membiarkan diri dipermalukan olehnya [chapter 1]. Tapi ternyata dugaanku memang benar sejak awal, opsi kedualah yang terjadi. Mau sebaik apapun aku menjelaskan, ia akan terus mengelak, enggan untuk salah.

"Harusnya lo bisa maklumin, gak usah bertingkah baper kayak gini!"

Jadi, aku yang salah ya? Aku salah karena mendapati trauma ini?

Pada akhirnya aku sadar bahwa terkadang apa yang diperlihatkan orang belum tentu merupakan representasi dari apa yang ia pikirkan. Dengan begini, aku menjadi menyesal karena sempat menganggap bahwa ia adalah pria yang baik.

Adam yang hendak menyentuh pundakku lantas terhenti begitu sebuah suara nyaring terdengar dari kejauhan layaknya pahlawan yang datang kesiangan.

"Woi! Berhenti!"

Kami berdua serempak mengangkat kepala ke arah sumber suara dimana ada tiga orang berdiri di samping seorang gadis berambut pendek yang sempat terlihat. Sorot sebuah senter yang dibawa oleh salah seorang di sana diarahkan kepada aku dan Adam yang refleks memincingkan mata karena silau. Langkah mereka berderap mendekat setelah gadis tersebut menyahut dengan nada histeris seraya menunjuk-nunjuk heboh ke arah Adam.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang