i had enough courage

18 6 0
                                    

Aku tidak bisa menemukannya setelah kejadian itu. Sosoknya menghilang bak ditelan bumi, bahkan sampai melewatkan jam makan sore bersama di dalam pendopo. Padahal, ia disebut-sebut datang bersama para seniornya kemari karena ia adalah mahasiswa baru yang paling rajin lembur di laboratorium. Itulah yang ku dengar dari percakapan samar diantara Kak Naufal dan Pak Setyo saat jam istirahat. Namun meski begitu, tak banyak yang mengkhawatirkannya saat ia pergi, apalagi berniat mencari. Hal aneh yang membuatku merasa janggal terhadap tujuan utama lelaki itu kemari.

Aku berusaha mengabaikannya terus-menerus seperti yang lain tapi selalu gagal. Pandanganku selalu goyah begitu cepat saat tidak sengaja melihat sesuatu yang lewat di sekitar, contohnya seperti ketika salah satu pekerja Pak Setyo lewat di samping pendopo, atau meskipun itu hanyalah sebuah plastik yang melayang diterbangkan oleh angin. Beberapa dari rombonganku, termasuk Kak Ace dan Kak Felix bahkan sampai memastikan kondisiku yang tampak tidak fokus.

Sampai dipenghujung kegiatan, aku berhasil menemukan sosoknya saat niat hati hendak membuang sampah plasik makanan di bagian teras depan pendopo karena tempat sampah di bagian belakang sudah sangat penuh. Lelaki itu tengah duduk membelakangiku, di sebuah batu besar yang menancap diatas pasir pada perkarangan pendopo yang bahkan baru pertama kali ku datangi. Aku yang lega sontak mengambil gerakan maju, namun begitu menyadari sesuatu janggal, langkahku terhenti.

Tunggu, kenapa aku harus ke sana? Memangnya aku siapa sampai bisa berkeinginan untuk menghampirinya? Bahkan setiap pertemuan kami selalu tentang perselisihan. Tidak ada perkenalan formal, apalagi berbincang kecil dengan normal. Mendadak aku merasa tak pantas jika memiliki niatan untuk menghiburnya. Ia pasti akan merasa terganggu dan tidak nyaman. Maka dari itu aku hanya berdiam diri di teras, menatap punggung lebar lelaki itu yang terbalut kilauan cahaya matahari yang hendak berlabuh di peradabannya.

Tepat sebelum warna jingga dilangit benar-benar berubah menjadi gelap, sosoknya tiba-tiba beranjak dari tempat dan membalikkan badan. Dengan begitu ia berhasil menemukanku berdiri seorang diri di sini, tengah menatapnya yang juga memperhatikanku keheranan. Tanpa sepatah kata yang terucap, ia melangkah mendekat, yang mana kemudian melewati tubuhku untuk masuk kembali ke dalam pendopo. Sedangkan lidahku terlalu kelu untuk mengucapkan kata, menjadikan rasa menyesal terus bermunculan disudut pikiran.

Seandainya saja aku memiliki keberanian yang cukup banyak, aku tak akan menghilangkan kesempatanku untuk meminta maaf.


Tengah malamnya kami tiba di hotel dimana kami akan menginap. Sedari tadi aku lebih memilih untuk banyak diam, mungkin itulah yang membuat para senior yang membawaku bersama mereka terus menanyai kondisiku secara berkala. Enggan terlihat bersikap aneh tanpa sebuah alasan, aku pun mengaku jika hanya pusing karena berada dalam perjalanan yang jauh. Mereka semua percaya dan itu mampu membuat Eliza berhenti menerorku jika aku sedang jatuh cinta pada seseorang random dari jurusan seni kriya yang sebelumnya kami temui. Namun tiba-tiba saja, disaat kami sedang merapikan barang-barang di kamar, Dhira mengajakku berbicara.

"Sebelumnya kenal Ruben darimana?"

Saat mendongak, ia sudah ada di hadapanku, tengah menggunakan oversized hoodie berwarna coklat dan menatapku dengan raut curiga. Tentu di sini tidak ada Eliza, ia pergi ke kamar Kak Felix, mungkin itu yang membuatnya memutuskan untuk mengajakku mengobrol secara langsung.

"Dari Kak Ace karena dia kakak pembimbing ospek aku, dan Kak Ruben kebetulan temannya—"

"Lo deket sama Ruben?"

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang