i knew how to cheer him up

23 5 0
                                    

Selama kurang lebih satu jam, kami berdiri melingkari sesosok pria baruh baya bernama Pak Setyo, yang merupakan pengerajin kayu nomor satu di Jepara. Kerajinannya yang berupa lemari sampai rak buku sudah berhasil diekspor hingga ke segala penjuru dunia. Hal itulah yang membuat anak-anak dari jurusan seni kriya berinisiatif untuk berlangganan belajar melalui beliau. Dan tentu saja berkat kekuatan relasi Kak Raihan dan keinginan Kak Ace, kami semua bisa turut tiba di sini, bersama dengan orang-orang dari jurusan seni kriya yang terasa begitu asing.

Namun, meskipun tidak tahu-menahu tentang basic terhadap seni pahat, keempatnya— Kak Felix, Kak Raihan, Kak Ruben, dan Kak Ian— tetap membuat lingkaran di samping Kak Ace untuk menyaksikan bagaimana Pak Setyo mengukir sebuah bongkahan kayu dengan lihainya. Sedangkan disisi lain, sosok Dhira dan Eliza justru melakukan hal kontras, duduk di salah satu kursi yang disediakan seraya mendokumentasikan diri melalui kamera ponsel tanpa ada rasa penasaran sedikitpun terhadap proses pengukiran karya itu.

Anehnya, bukannya serius mendengarkan penjelasan Pak Setyo terhadap jenis-jenis alat pahat yang ia gunakan, aku yang tengah berdiri di antara Kak Ace dan Kak Raihan, tidak mampu melepaskan pandangan dari sosok familiar di seberangku meski ia sendiri tidak lagi memberikan sedetiknya untuk balik menatapku.

Entah mengapa meski tidak saling akrab, tapi ada sejuta tanda tanya yang telah tertumpuk disudut pikirku tentang dirinya yang belum berhasil ku ketahui dengan mudah. Bahkan dari hal sepele seperti nama saja belum berhasil ku temukan jawabannya.

Siapakah nama aslinya? Apakah aku akan mendapat jawabannya dimomen ini?

"Ada yang mau coba bantuin saya? Tiga orang aja." Sampai ucapan Pak Setyo berikutnya membuat Kak Ace langsung buru-buru menaikkan tangan kanannya.

"Saya Pak!" Sahutnya tanpa berbasa-basi lagi.

"Oke, boleh." Mendengarnya, membuat Kak Ace berbinar, "Dua lainnya mau siapa?"

Rombongan dari jurusan seni kriya pun saling melempar pandangan bingung, hingga salah satu diantara mereka melangkah maju, "Sebelumnya perkenalkan nama saya Naufal, dari jurusan seni kriya angkatan 2019. Mungkin Pak Setyo sudah hafal sama saya karena saya sering main ke sini."

Pak Setyo terkekeh, "Ah iya iya, Naufal. Tenang, saya hafal sama kalian yang sering main ke pendopo saya. Tapi untuk beberapa yang baru ke sini, ya mohon maaf saya belum bisa langsung kenal."

"Iya, Pak. Oh, iya untuk satu orangnya lagi, apakah boleh saya yang tunjuk aja Pak?"

"Boleh, boleh, monggo[1]."

Kemudian laki-laki bertopi bernama Kak Naufal itu menembak salah satu anak di belakangnya dengan sebuah tatapan setelah menyisirnya sekilas. Reaksi terkejut sosok yang selama ini ku ketahui bernama 'Karavan' membuatku tahu jika ialah yang terpilih. Padahal sebelumnya ia tengah melamun, namun kini ekspresinya kebingungan, apalagi ketika orang-orang di sampingnya mempersilahkannya untuk maju ke depan.

"Van, sini," bisik Kak Naufal kepada sosok yang belum bergerak itu.

Tunggu, apakah namanya benar-benar 'Karavan'?

"Silahkan, silahkan, jangan malu-malu. Kalian bertiga bisa duduk mendekat ke sini." Pak Setyo menggeser posisinya dan mempersilahkan ketiga untuk duduk di sekitarnya.

Baik Kak Naufal dan Kak Ace lantas menempelkan pantat di kursi dengan penuh percaya diri. Berbanding terbalik dengan bagaimana si sosok kaku itu berjalan mendekat dengan sorot yang begitu gelisah. Kemudian ia duduk di samping Kak Ace yang kosong.

"Karena saya sudah kenal sama Naufal, mungkin sisanya bisa berkenalan terlebih dahulu," ucap Pak Setyo mempersilahkan dua orang di hadapannya.

Kak Ace yang bersemangat pun menyodorkan tangan kanannya terlebih dahulu, "Permisi, Pak. Perkenalkan nama saya Ace Pratama, dari jurusan seni rupa murni angkatan 2021. Kebetulan saya fans berat Bapak, sudah lama ingin main ke sini."

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang