you didn't ask for my number

47 10 0
                                    

Setibanya di kamar, aku pun menjatuhkan tubuh ke atas kasur yang empuk. Ku perhatikan langit-langit ruangan selama beberapa saat dengan pandangan kosong. Pikiranku jatuh pada kejadian setelah Kak Ace menarikku untuk kembali pada kumpulan teman-temanku yang tengah berusaha berfoto ditengah-tengah ramainya suasana kala itu.

"Kamu dicariin teman-teman kamu. Pada minta tolong aku buat fotoin kalian."

Begitu ucapnya tepat ditelingaku ketika ia tiba-tiba saja menghentikan langkah.

Kemudian ia melepaskan tanganku tepat sebelum semua orang menyadari keberadaan kami berdua. Kak Ace berjalan menembus celah dari beberapa orang dan menghampiri teman-temanku seraya bersiap dengan kameranya untuk mengabadikan momen mereka yang langsung berpose. Aku yang sempat membatu di tempat karena berusaha memahami dengan situasi saat itu lantas berujung mengekor dengan langkah lambat. Sampai pada akhirnya Bella dan Cantika mendapati aku sudah berdiri di samping kiri mereka dengan raut canggung.

"Lo kemana aja?! Ayo foto bareng! Buruan, lihat depan!"

Aku yang dirangkul oleh mereka refleks langsung menatap ke arah lensa kamera milik Ace yang tengah menghadap ke arah kami. Meski wajahku sibuk menampakkan ekspresi bahagia, namun jauh dari itu, batinku bertanya-tanya tentang bagaimana Kak Ace mampu mengetahui keberadaanku secepat itu saat tersesat sebelumnya. Apa itu sebuah kebetulan belaka atau memang ia sengaja memperhatikan sejak awal?

Aku lantas menggeleng kepalaku pelan, berusaha menepis segala hal kecil tentang Kak Ace yang selalu seliweran dengan mudahnya dibenakku. Pasti hanya sebuah kebetulan ia tengah melihatku tersesat dan merugikan orang lain.

Benar. Tidak ada aspek lain yang harus ku pertimbangkan lagi agar ia bisa terlihat seperti memperhatikanku sejak awal.

Beralih dari Kak Ace, omong-omong, perpisahan yang baru saja ku lalui tadi siang langsung mendapat kesan tersendiri dihatiku. Senang rasanya saat membayangkan kembali akhir dari perpisahan ospek fakultas yang begitu seru sekaligus menyentuh. Selain musik EDM, juga sempat diputar beberapa lagu perpisahan yang terdengar melankolis, membuat tak sedikit dari kami memilih untuk saling bergandeng tangan seraya menyanyikannya. Dan meski harus berakhir dengan rambut serta baju yang bertabur bubuk warna-warni, hal itu tidak membuat kami berhenti untuk mengabadikan momen tersebut sebanyak mungkin.

Berfoto bersama teman-teman kelas, hingga mengabadikannya bersama dengan para kakak pembimbing kelas C. Mulai dari Kak Julia yang selalu peduli, hingga Kak Dimas yang sedikit tertutup, kami meminta kepada mereka secara bergantian agar bisa berpose di antara kami selama pesta perpisahan itu berlangsung. Kami sangat terlihat bersenang-senang saat itu. Namun Kak Ace, ia tak pernah bertukar peran. Kamera itu selalu ia bawa selama proses dokumentasi berlangsung. Meski ada yang menawari dirinya untuk bergantian, tapi lelaki itu selalu menolak. Sehingga tidak ada kenang-kenangan foto antara kelas C dengan Kak Ace seorang. Ia bertindak seperti itu seolah demi sebuah alasan. Sesuatu yang membuatku menjadi kian penasaran.

Selain itu, beberapa dari kami— para perempuan penghuni kelas C— sempat diajak berfoto berdua oleh beberapa anak laki-laki dari dalam hingga luar kelas. Seperti Maura yang menjadi primadona kelas telah diajak berfoto dengan banyak laki-laki di kelas C seperti Kristo, Arsen, Hidan, dan lainnya. Dan tentu saja tak mengejutkan lagi jika Rizky merupakan salah satu orang yang meminta untuk berfoto denganku. Sedangkan Kak Ace, meski gelagatnya seperti enggan berfoto bersama anak-anak kelas C, tapi ia bisa menanggapi dengan baik ajakkan para perempuan itu. Mereka, yang berasal dari kelas C hingga anak kelas lain, datang kepadanya silih berganti untuk meminta foto berdua saja. Dan melihatnya yang sibuk tersenyum di depan seluruh kamera ponsel itu terkadang membuatku menjadi minder akan ketenarannya yang luar biasa.

Bahkan ada satu dua orang mengatakan bahwa motivasinya masuk ke fakultas seni Pelita Jaya hanya karena ingin bertemu dirinya. Seperti yang bisa diduga dari orang sekeren Kak Ace. Dengan wajah dan sikap baiknya itu, ia pantas mendapat cinta dari semua orang. Tak heran jika penggemarnya ada segudang. Alih-alih mengantre untuk mendapatkan kenang-kenangan bersama, aku yang bermental kecil merasa sangat gugup dan ragu untuk mendatanginya. Aku hanya mampu melihat sosoknya dari jauh meski masing-masing dari kami tengah berfoto dengan orang lain saat itu. Sehingga sampai kegiatan hari itu benar-benar selesai, aku tidak berhasil memiliki satupun foto bersama dengan Kak Ace.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang