you didn't smile at me all the time

36 8 0
                                    

Aku terhenyak. Tercenung beberapa saat. Seumur hidup tidak ada yang pernah memperlakukanku seperti itu. Bahkan Adam, lelaki yang pernah dekat denganku, hanya berani mengantarkan jemputku di depan gerbang rumah. Serta hampir tidak pernah izin kepada orang tuaku jika ingin mengajakku pergi.

"T-Tapi, Kak."

Ia yang ancang-ancang hendak melangkah pun mengurungkan niatnya.

"Kenapa?"

"K-Kayaknya Mama lagi ada meeting sama client. Jadi mendingan langsung pergi aja—"

"Kalau gitu aku minta kontak Mama kamu."

"Serius Kak, kalau gak ijin gakpapa—"

"Keira, aku gak enak kalau harus bawa anak orang tapi gak izin. Setidaknya Mama kamu harus tahu kalau kamu mau pergi sama aku, biar nanti Mama kamu gak kepikiran juga."

Aku menghela napas panjang. Aku kalah telak. Berdebat dengannya sepertinya tidak akan pernah usai. Begitu pula dengan keteguhan yang terpancarkan kedua matanya membuatku sedikit goyah.

"Oke deh."

Aku membuka ponselku dan mengirim sederet nomor ponsel milik Mama kepadanya.

"Mama kamu pakai Line gak?"

"Ada sih tapi jarang dibuka. Lebih sering pakai Whatsapp."

"Oh, oke. Yuk."

Ia memberiku kode melalui gerakan kepalanya. Tidak ada yang bisa ku lakukan selain mengekor langkahnya keluar dari tempat persembunyian itu.

"Kita mau kemana Kak?"

Pertanyaanku tidak ia balas. Ia bersikap datar saat sudah tiba di lorong ramai gedung D. Banyak orang menyapa serta menatapnya penuh kagum dari segala penjuru, membuatku yang sadar diri pun beringsut mundur. Auranya langsung beda saat berhadapan dengan mereka semua. Ia terlihat dingin tapi menanggapi orang yang menyapa dengan senyuman hangat. Poularitasnya itu semakin menegaskan sosoknya yang sangat sulit untuk digapai.

"Mau kemana lo?"

Seorang berambut pirang dengan headphone warna putih melingkari lehernya menyapa kehadiran Kak Ace dengan sebuah tepukkan di punggung. Ia terlihat seperti blasteran dengan bintik-bintik kecoklatan yang tersebar dibagian hidung dan pipinya. Pakaiannya yang berupa jaket kulit dengan celana ketat berwarna hitam membuatnya terlihat sangat sangar dan modis. Melihat keduanya tampak akrab tidak lagi mengherankan. Pasalnya orang-orang keren akan menjalin pertemanan antar satu sama lain. 

Sedangkan Kak Ace hanya tersenyum, tidak menjawab.

"Mau cabut? Gue kira mau ikut ke Red Line."

Red Line? Apa maksudnya? Meski aku berjarak dua sampai tiga meter dari posisi Kak Ace tanpa menunjukkan jika aku sedang bersamanya, tetapi aku masih bisa menangkap dengan samar suara bass itu menyeruak disela-sela bisikan para gadis yang berlalu lalang.

"Ada pokoknya. Gue duluan. Titip salam buat anak-anak yang lain."

Kak Ace melewati tubuh lelaki itu yang hanya menatap punggungnya heran. Sedangkan aku yang awalnya bimbang saat ingin melewatinya, lantas diselamatkan oleh sekumpulan mahasiswa baru yang mendekat seraya memanggil nama lelaki itu hingga terinterupsi.

"Kak Felix, maaf ganggu, kami boleh minta foto bareng gak ya—"

Aku buru-buru melesat pada celah dari balik punggung lelaki itu. Suasana lorong saat jam usai kelas memang sangat mengerikan terkadang. Orang-orang sibuk berlalu lalang antara hendak pulang, ke kafetaria, atau mengobrol di teras gedung bersama teman-teman sekelas untuk membahas tugas kelompok yang kurang jelas. Dan mungkin poin ketigalah yang menyebabkan kemacetan pada siang hari ini.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang