i had known they were that close

17 4 3
                                    

"Kak Ace kenapa ya?"

"Dia—" Ann menggantungkan kalimat membuatku semakin penasaran.

Selanjutnya ia terlihat gelisah, seperti tengah berdebat dengan dirinya sendiri. Ia sedikit menunduk dan menggigit bibir bawahnya kuat. Hening sempat terjalin selama sesaat, hingga ia memutuskan untuk mengambil sesuatu dari balik kantung jaket yang ia kenakan.

Lalu ia menyerahkan sebuah benda kepadaku, "Ini."

Setelah aku terima, ternyata itu adalah kartu— bukan— ternyata ini adalah key card atau cardlock, semacam kartu yang digunakan untuk membuka sebuah ruangan pada pengamanan berupa kotak sensor. Semula aku kebingungan melihatnya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti 'Milik siapakah ini?', 'Kenapa ia menyerahkannya padaku?', atau 'Apakah yang aku lakukan sekarang ini benar?' terus menggema dipikiranku. Hingga aku memperhatikan dengan seksama label yang tertera samar di sana.

Halton Apartement.

Itu adalah nama apartement yang di tempati Kak Ace.

Pikiranku semakin dibuat kacau saat membalikkan kartunya sekali lagi, tercetak nomor 811 di sana.

Dan lagi-lagi, segala jejak yang tertera di kartu itu mengarah pada seorang Kak Ace.

Aku lantas mendongak, menatap Ann dengan pandangan kebingungan.

"I-Ini—"

"Punya Ace."

Aku sontak bungkam.

"T-Tolong kasihin dia ya. Barang itu udah lumayan lama ada di aku."

Ternyata itu alasannya Kak Ace selalu membuka pintu apartement-nya menggunakan password manual alih-alih menggunakan kartu yang lebih simple

Meski saling berhubungan, tapi tetap saja terdengar mengganjal sebelum aku tahu tujuan asli Ann memberiku benda ini dan juga bagaimana cara ia mendapatkannya.

"Bisa tolong jelasin gak ya? Jujur, aku bingung banget. Kenapa kamu malah kasihin ini ke aku? Kenapa gak kasih ke Kak Ace langsung?"

Ia memberanikan diri untuk menatapku, sorotnya terlihat sangat terluka, kontras dengan senyuman tipis yang ia sunggingkan, "Karena aku merasa kamu lebih pantas kasihin itu ke dia."

"Tapi aku gak merasa—"

"Dulu, aku memang dekat sama dia," jelas Ann membuatku refleks tak melanjutkan perkataanku. Sedangkan gadis itu mulai menunduk dan memainkan jemarinya resah, "Aku suka dia. Tapi aku gak tau, dia suka aku balik atau enggak. Awalnya semua berjalan normal, kita dekat, sering pergi bareng, aku bantu dia kerjain proyek sampai selesai, dan kita—" Ia sempat tak melanjutkan kalimatnya selama sepersekian detik.

Lalu ia menghela napas panjang, "Dia tiba-tiba menjauh, kita jadi jarang ketemu. Semua itu terjadi tiba-tiba, tanpa penjelasan. Waktu itu aku marah, makanya waktu dia muncul lagi, aku berusaha menghindar dan gak mau bicara sama dia. Sampai kemarin di Jogja, aku baru sadar kalau ternyata aku masih ada rasa. Dan aku pikir dia pun begitu."

Apa yang harus aku lakukan? Semua mimpi buruk kini rasanya seolah menjadi kenyataan.

Aku terus pada posisiku, mendengarkan dengan perasaan yang telah tercampur aduk. Disaat yang bersamaan, aku berusaha menyelamatkan kewarasan dari belenggu pilu yang membanjiri pikiran. Meski sulit, karena potongan bayang-bayang Kak Ace dan Ann bersama terus bermunculan, tapi aku berusaha keras untuk menyingkirkannya dengan anggapan bahwa itu semua hanyalah masa lalu.

"Aku memang mau cerita aja. Karena kayaknya kamu juga bertanya-tanya tentang aku dan Ace dulu."

Aku mengangguk-angguk paham, entah harus kaget atau cemburu yang harus aku tunjukkan. Karena gundahnya hati ini saat mengetahui fakta jika keduanya memang sedekat itu tidak dapat dielak lagi.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang