i didn't meet him again

24 8 0
                                    

Aku lantas menggendong tasku dan keluar dari ruang kelas dengan raut lesu. Teman-temanku sudah berjalan duluan karena begitu bersemangat ingin pergi ke café yang terkenal akan menu es krim yang enak dan murah. Sedangkan aku yang menjadi sosok mahasiswa yang keluar paling akhir, berusaha mengikuti langkah mereka diantara orang-orang yang memenuhi lorong gedung F.

Saat mengantre pada arus jalan yang begitu padat, tiba-tiba saja ada dua tangan yang menepuk bahuku pelan dari arah belakang. Hal itu sontak membuatku membelalak kaget dengan tubuh menegang. Namun sat hendak menoleh untuk melihat pelaku dibaliknya, kedua tangan itu justru menahan pergerakanku agar tetap menghadap ke depan. Aku pikir aku tidak mengenali orang tersebut, hingga sebuah suara berbisik pelan tepat ditelingaku.

"Basecamp, sekarang."

Tidak salah lagi, itu suara Kak Ace.

Saat tangan itu terlepas dari pundak, aku pun menoleh ke belakang dan menemukan sesosok jangkung bertopi putih tengah berjalan berlawanan arah dari posisiku. Awalnya aku sedikit ragu, tapi begitu menemukan rambut hitam sosok itu terkuncir setengah yang dimasukkan ke dalam lubang karet bagian belakang topi membuatku semakin yakin apabila orang itu benar Kak Ace.

Jelas-jelas, ia memintaku untuk datang, tapi mengapa tidak mengabarinya lewat pesan saja?

Alih-alih melanjutkan langkah menuju ke tempat parkir, aku justru mengikuti langkah pria bertopi putih itu dari belakang. Seraya menembus kerumunan yang berlalu lalang, tanganku sibuk membuka ponsel untuk mengabari di grup obrolan dengan teman-temanku, bahwa aku tidak bisa ikut dengan mereka. Meski pada akhirnya kehilangan jejak, tapi tidak salah lagi apabila tujuannya berada dibalik toilet pria gedung D yang rusak. Aku melewati lorongnya dengan perlahan, berusaha mencapai cahaya diujung sana. Namun semakin lama melangkah, pekatnya aroma asap rokok yang tercium membuatku sedikit berjengit.

Apa yang terjadi di teras sana?

Saat tiba, aku mengedarkan pandangan dan menemukan Kak Ace tengah mengeluarkan sejumlah kepulan asap dari bibirnya seraya duduk diatas meja dengan punggung menyender dinding. Sedetik kemudian, ia menoleh, langsung menyadari keberadaanku, dan kedua mata kami tertaut. Tak seperti sebelumnya yang berusaha menyembunyikan apa yang ia lakukan, Kak Ace kembali menyesap rokoknya dengan santai.

"Udah kelar kelasnya?"

"Udah, Kak."

"Ada kelas lagi gak?"

"Enggak kok."

Rasanya ada yang aneh dengan wajahnya. Tapi aku mengira itu hanya salah lihat belaka karena jarak yang memisahkan kami.

"Sini, duduk di sebelahku."

Ia memindahkan posisi tasnya yang menghalangi tempat sisa di sampingnya. Aku pun melewati beberapa barang yang berserakan dengan hati-hati agar mampu bisa mencapai meja yang diduduki oleh lelaki itu. Saat tiba, aku yang secara tak sengaja melihat ada sesuatu yang berbeda diwajahnya langsung berusaha meningkatkan fokus pengelihatanku.

Ujung bibirnya terluka, begitu pula dengan tulang pipi kirinya terdapat lebam memerah samar. Jadi aku tidak salah lihat.

"K-Kak, itu pipinya, k-kenapa?"

"Hah? Oh ini, aku habis jatuh."

Aku membelalak, "Astaga. Kok bisa?"

"Motor. Biasa, kebut-kebutan, gak fokus terus jatuh deh," ia mengelus senyum usil seraya kembali menyesap rokoknya perlahan dan menghembuskannya.

"Yaampun, jatuh di daerah mana Kak? Itu sehabis rapat atau gimana?"

"Uhm, daerah Harumsari Selatan. Pas itu cabut dulu mau makan," ia menjawab dengan sikap amat santai. Seolah lukanya bukanlah suatu perkara yang besar. Namun aku yang syok bahkan kebingungan harus bersikap seperti apa di hadapannya saat ini. "Handphone-ku juga rusak. Habis ini mau beli yang baru. Kamu gak chat apa-apa lagi kan kemarin?"

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang