that girl didn't come into this room [part 1]

23 5 0
                                    

Seusai makan sore di burjo, aku pun menemani Kak Ace ke kantor polisi terdekat di daerah Tanjung. Setibanya, kami turun dari motor dan melangkah masuk secara beriringan. Ada dua orang polisi berjaga di meja resepsionis. Disaat Kak Ace mendekat ke arah keduanya, aku memilih untuk duduk seorang diri disebuah bangku panjang di dalam ruangan yang sama seraya sesekali mendengar apa saja yang Kak Ace obrolkan dengan para polisi.

"Oh, berarti biar bisa ngurus pakai akte kelahiran sama KK ya Pak?"

"Iya karena masnya dari luar kota, dan di sini hanya kantor cabang jadi sulit memprosesnya."

"Biasanya ngeprosesnya berapa lama ya Pak?"

"Ya itu tergantung kantor polisi tiap daerah. Jadi nanti masnya ngurus di kantor kotanya sendiri."

"Oalah gitu, okedeh makasih banyak Pak."

Percakapan berlangsung tidak sampai lima belas menit. Setelah kami keluar dari sana, aku pun mempertanyakan terkait dompetnya yang hilang.

"Gimana Kak? Gak bisa diproses di sini ya?"

"Gak tau nih, aneh. Masalahnya akte kelahiran sama KK aku di Bandung. Males juga kalau ngurus gituan pas pulang kampung."

"Emangnya hilang dimana sih Kak dompetnya?"

"Gak tau, lupa. Tiba-tiba aja ilang."

"Aneh banget deh," komentarku terus terang.

Ia menghela napas, "Nama juga lupa, Keilola." Kemudian ia mengacak rambutku pelan.

Setelah melepaskan diri dari gangguannya dengan kekehan yang tak kunjung surut, aku bertanya, "Habis ini kemana Kak?"

"Beli handphone."

"Beli dimana?"

"Ibox deket sini mana sih?"

Kami yang semula hanya saling melempar pandangan di depan kantor polisi, ujung-ujungnya berakhir tiba pada salah satu mall terbesar di kota ini.

Namun aku yang baru teringat akan suatu hal lantas menghentikan langkah, "Bukannya kartu ATM kakak juga hilang didompet ya?"

Ia yang menyadarinya pun juga ikut menghentikan langkah, lalu mengangguk, "Iya, kenapa?"

Aku melongo, "Terus bayarnya pakai apa?"

Akan menjadi tidak lucu jika kami sudah jauh-jauh kemari tapi hanya untuk sekadar melihat-lihat tapi tidak bisa membayar.

"Aku punya kartu lain kok, tenang."

Kenapa lelaki itu menungguku heboh bertanya baru ingin menjelaskan? Apa ia sengaja ingin membuatku panik dan kesal dalam satu waktu?

Aku mendengus, "Oke deh."

Selama proses memilih ponsel, aku memutuskan untuk menyendiri di pinggir estalase. Memperhatikan lelaki itu yang sedari tadi sibuk berjalan ke sana kemari untuk melihat beberapa stock yang terpajang. Bagiku, mengganti ponsel adalah suatu hal yang crucial. Mama tidak akan semudah itu untuk diluluhkan agar mau membelikanku satu yang baru jika ponsel lamaku belum sepenuhnya rusak. Yah, mungkin ini nasib dari anak yang belum berpenghasilan secara konstan.

Namun melihat Kak Ace yang sangat puas dengan pilihannya meski itu bernilai tinggi, membuatku sedikit iri. Ia memilih salah satu model terbaru dan mampu memilihnya sangat cepat. Begitu pula saat melihatnya mengeluarkan sebuah kartu dibalik jaketnya, membuatnya terlihat amat mewah. Aku bertanya-tanya, apakah itu kartu berisikan pemberian orang tuanya atau hasil dari kerja kerasnya mengikuti lomba-lomba?

Setelah membayar dan mendapat barangnya, ia pun langsung mendatangiku seraya menggenggam ponsel berwarna gelap itu dengan wajah sumringah.

"Aku udah lama pengen model yang ini."

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang