that girl didn't come into this room [part 2]

24 6 0
                                    

Aku beralih menatap ke arah meja kerjanya yang amat lebar. Tidak ingin menunjukkan sikap salah tingkah membuatku buru-buru menerjang ke depan untuk mengambil sebuah canvas berukuran sedang yang tergeletak di lantai.

"Wah, bagus banget."

"Itu aku buat semester lalu, waktu gabut di balkon."

Aku menatap lukisan bayi yang tengah memeluk sebuah boneka anjing itu dengan sebuah ulasan senyum, "Lucu, gemes banget."

Aku meletakkan canvas itu di atas kursi saat berhasil tertuju pada sebuah lukisan lain yang letaknya tak jauh dari diriku berada, "Wah, itu juga bagus."

Kali ini aku terpaku pada lukisan bernuansa gelap dengan pemandangan pegunungan serta perairan yang membentuk bayangan dari langit yang menurunkan salju putih samar.

Kak Ace masih di tempatnya, memperhatikanku dari belakang. Saat ku puji, selalu ku temukan wajah malu-malunya itu muncul dengan kekehan.

"Itu waktu bayangin suasana dingin aja."

"Emang Tanjung pernah dingin ya?"

"Itu lukisanku waktu SMA, Keilola."

"Oalah, bilang dari awal dong."

Kemudian aku berusaha mengais-ngais karya diantara timbunan kertas tak terpakai di atas meja. Semua yang ku temukan tampak indah, dan memiliki makna yang berbeda-beda. Sebenarnya, aku tidak terlalu paham tentang jenis-jenis teknik melukis. Tapi dari semua yang ku temukan, dapat disimpulkan bahwa Kak Ace tipe yang suka mengeksplor segala cara dan metode.

"Sebenernya didalam desain watercolour aku lebih suka teknik wet on wet sama graded wash. Tapi pengen coba-coba teknik lain pas masuk kuliah."

"Wah, kakak berbakat banget," pujiku tiada henti saat melihat beberapa karya dengan sentuhan teknik arsir menggunakan pensil di salah satu sketchbook miliknya yang tergeletak di atas meja.

"Biasa aja, banyak yang lebih keren."

"Gak usah merendah untuk meroket gitu dong."

"Seriusan deh, aku gak sehebat yang kamu kira. Aku juga masih belajar."

"Masa sih? Tapi kakak udah sering menangin lomba-lomba, masa masih pengen dibilang pemula?"

"Ya enggak gitu juga kali."

Aku yang menemukan sebuah canvas yang tersender di dinding bawah meja saat merunduk membuatku mengerutkan kening. Lalu ku ambil benda itu dan mengangkatnya penasaran.

"Oh? Kupu-kupu?" Gumamku pelan. Kemudian ku arahkan karya itu ke arah Kak Ace, "Ini referensi kupu-kupu dari daerah mana Kak?"

Mendadak sudut diujung bibirnya luntur. Tapi tak lama kemudian, ia kembali tersenyum tipis, "Dari Bandung."

"Nah kan, udah yakin pasti bukan di sini. Panas soalnya, kupu-kupu mana tahan," aku berusaha membuat lelucon tapi itu tak mampu membuatnya tersenyum. Seperti ada sesuatu yang menganggu pikirannya. "Emang kupu-kupu di sana banyak ya Kak? Bukannya Bandung di tengah kotanya juga banyak polusi?"

Ia berpikir sesaat, "Uhm, aku sempat beberapa kali lihat kupu-kupu kok. Walaupun emang jarang."

"Oalah, emang masih ada ya kupu-kupu warna cerah gini? Kalau emang ada di tempat tinggal kakak, berarti keren sih. Bagus banget soalnya."

"Aku pernah nangkep satu."

"Oh iya? Kapan?"

Ia mengulas senyum tipis, "Udah lama dulu SMP."

"Wah, udah lama ya. Sekarang gimana Kak? Beranak pinak?"

Ia mengendikkan bahu, "Udah lepas, jadi jauh deh."

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang