i could disappear

176 20 0
                                    

Sore hari itu, aku beserta ketiga temanku semasa sekolah berkumpul di sebuah kafe. Temu kangen yang seharusnya berbagi cerita tentang persiapan untuk kehidupan awal kuliah malah membuatku seakan tersudut dengan pertanyaan yang diberikan. Memang tak banyak cerita yang aku berikan ke mereka selama ini, tentang sosok Adam yang ku putuskan meski kami belum menyandang status pacaran. Lagipula tidak ada yang meminta lelaki itu untuk dekat dengan gadis lain saat aku tengah sibuk mempersiapkan berkas-berkas untuk pendaftaran kuliah.

Aku pun berpikir keras, berusaha memberikan alasan yang terbaik.

"Yah, mau gimana lagi, emang gak cocok."

Rupanya jawabanku tak membuat mereka puas. Ketiganya menatapku seraya mengerutkan kening, tanda protes.

"Serius? Gara-gara gak cocok? Si Adam aja galau mulu dan tanyain keadaan lo sekarang," sahut Naomi, salah seorang temanku yang bertubuh mungil serta berkacamata.

"Gila, jahat banget sih kalau lo mutusin Adam padahal dia lagi sayang sayangnya sama lo," ujar Fiona dengan kekehannya diakhir kalimat. Rupanya ia berniat bercanda walaupun sebenarnya terdengar tidak seperti itu.

"Perasaan selama ini hubungan lo sama dia baik-baik aja. Pasti lo bosen ya? Padahal dia rela antar jemput lo pas kursus dulu," Renata bertanya penasaran.

Mendengar segala ucapan itu semakin membuatku penat. Perasaan menyesal karena mengiyakan ajakan untuk kumpul bersama mulai menggerogoti tubuhku. Begitu pula dengan ingatan buruk yang muncul tentang bagaimana Adam mencium pipi seorang gadis di kafe yang tak sengaja aku lewati bersama sepupuku. Hal yang baru aku alami beberapa waktu lalu itu membuatku semakin tak berdaya.

Aku tahu mereka adalah tipe penggosip yang akan membicarakan masalah seseorang kepada semua orang di sekolah yang mereka temui. Korbannya sudah banyak, aku pun pernah mengalaminya dulu. Sehingga aku memutuskan untuk menyimpan cerita ini sendiri tanpa berniat membaginya ke siapapun. Maka, aku hanya tetap diam, hingga salah seorang temanku yang sedang melakukan Live Instagram pun memekik kaget.

"Oh? Kei, Kei! Adam join live gue. Ehㅡ hai Adam!" Naomi menepuk pundakku beberapa kali.

"Cie, Adam sampai comment tanyain elo mulu, Kei!" Sahut Fiona bersemangat. "Halo Adam! Si Keira ikut nongkrong kok! Kita lagi di Sparkle Cafe. Kei pesan strawberry milkshake, pasti lo tahu dong minuman favoritnya apa."

"Adam, kok lo bisa sih putus sama Kei? Gue kepo soalnya si Kei gak mau kasih tau," tanya Renata di depan ponsel Naomi seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Sepertinya Adam menolak untuk menjelaskannya atau mungkin bingung untuk mengungkapkan kesalahannya secara terus terang. Terihat jelas bagaimana reaksi ketiga temanku yang kecewa.

"Gak dibalas sama Adam. Yah, gak asik lo berdua!"

Aku memijat pangkal hidungku lembut. Persetan dengan tanggapan mereka, aku hanya ingin hidup tenang, "Guys, gue minta udahan karena emang gak cocok aja. Minta juga ke si Adam buat stop tanya-tanya tentang gue. Kita udah gak ada apa-apa."

Bukannya mengiyakan kalimatku, mereka malah melanjutkan obrolan seru dengan Adam lewat Live Instagram. Beberapa kali ketiganya menyebut aku pelit berbagi cerita serta menyinggung aku yang jahat karena telah memutuskan lelaki itu.

"Nih, Dam. Kei lagi cemberut. Kayaknya lo perlu datang ke sini deh," Fiona mengarahkan kamera ponsel yang ia bawa ke arahku yang tengah menyeruput minumanku.

"Apaan sih, Fi!" Sahutku kesal.

"Iya, iya, yaampun galak banget. Tapi kenapa lo marah, padahal lo yang putusin dia."

Sungguh, aku tak peduli lagi.

Seandainya saja aku bisa menghilang, aku tidak akan merasa setertekan ini.


Adam adalah seorang lelaki yang ku jumpai beberapa bulan lalu di sekolah. Kami memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan dekat hingga kelulusan dijenjang SMA. Namun kami belum berpacaran dengan alasan lelaki itu masih menyiapkan tempat yang cocok untuk menjadikanku pacar. Padahal aku tidak meminta bulan purnama sebagai syarat agar cintanya bisa ku terima. Hingga aku menemukannya di sebuah kafe tengah kota sore itu, dengan seorang gadis yang tak ku kenali tengah mengobrol mesra. Yang ketika aku melakukan panggilan telpon, ia mematikannya. Dan pesanku yang mempertanyakan keberadaannya tadi sore justru dibalas tengah malam, itu saja berbohong.

Aku berusaha tidak mengambil pusing masalah itu. Lagipula toh aku juga tengah disibukkan dengan persiapan untuk memasuki dunia perkuliahan. Aku memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin untuk menghindari Adam. Alasanku itu pun diterima olehnya, membuat kami selama satu hingga dua bulan jarang berkabar apalagi bertemu. Ya, aku tak langsung menodongnya dengan fakta bahwa ia berselingkuh. Karena jika itu ku lakukan, entah apa yang akan terjadi. Antara aku yang memenangkan debat itu atau justru aku yang membiarkan diriku dipermalukan olehnya. Karena kami tidak memiliki status itu. Tidak ada yang bisa ku jadikan tameng akibat hubungan kami yang tidak jelas. Dan mungkin itulah yang membuatku tertekan selama beberapa bulan tanpa menghubunginya.

Hingga pada akhirnya aku berhasil meminta Adam untuk melupakan 'hubungan' yang pernah terjadi diantara kita. Sayangnya, saat ia meminta alasan, aku diserang rasa panik yang membuatku pening dan terus bungkam. Aku tak bisa menyebutkan kesalahan yang ia perbuat. Saking fatalnya membuatku trauma untuk dekat dengan laki-laki lain selama beberapa waktu. Dan sepertinya ia masih tidak terima dengan cara aku mengakhiri semua ini. Adam selalu mengupayakan segala cara untuk mendapatkan perhatianku lagi. Sedangkan dimataku hal-hal seperti itu malah terlihat menganggu. Alhasil, meski berhasil masuk ke sebuah universitas yang tergolong terbaik, aku justru merasa hampa dan penat. Seolah trauma itu membuat mentalku perlahan terkikis. Dan aku tidak tahu ini akan berakhir sampai kapan.


Hingga pada hari dimana aku harus bertemu dengannya. Seorang pria berambut hitam lurus sepundak dengan senyum manisnya yang memabukkan.

Namanya Ace.

Dan ia adalah kakak tingkatku di kampus.

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang