my mind wasn't messed up

14 4 0
                                    

Setelah memastikan kondisi di luar ruang kelas sudah aman, aku lantas menyelinap keluar dengan berhati-hati, dan mulai berlari kecil menuruni anak tangga menuju ke arah gedung A. Meski harus beberapa kali menyenggol bahu orang-orang yang berlalu-lalang, pada akhirnya aku berhasil mencapai taman baca gedung A yang begitu asri.

Aku edarkan pandangan ke sekitar selama beberapa kali. Namun sosok tinggi besar milik Kai tidak kunjung aku temukan. Mengira bahwa Kai menyerah menunggu, sesuai dengan perkiraanku sebelumnya, lantas membuatku menghembuskan napas lega.

Namun disaat membalikkan badan hendak pergi, munculnya sosok Kai yang berdiri di belakangku secara tidak terduga, membuatku spontan terlonjak. Ia lantas menatapku keheranan akibat tingkahku yang terkejut bak melihat setan.

"Lo telat," ucapnya singkat.

"Iya gue tau, sorry ya tadi gue—"

"Jadi lo mau tanya apa?" Potong Kai to the point. Ia seperti tidak tertarik dengan alasan basa-basi yang hendak aku utarakan.

Aku yang baru teringat akan tujuan utama aku mengajaknya kemari lantas termenung sejenak, berusaha merangkai kata yang hendak aku utarakan.

"Kenapa lo bohong soal kejadian itu?" Tanyaku kepadanya yang terlihat datar, "Lo masih ada di sini kan waktu Adam mulai ngejar gue?"

Ia mendesah gusar, "Gak ada keuntungannya juga buat lo kalau gue bohong atau jujur." Jawabannya ada benarnya, tapi itu tetap saja membuatku penasaran terkait apa yang sebenarnya ia lakukan saat kejadian itu berlangsung.

Tapi belum sempat aku melayangkan kalimat protes, ia sudah kembali bersuara.

"Lo sendiri kenapa ke tempat kemarin?"

Aku mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba saja ia membahas pertemuan kami di lapangan bulu tangkis indoor sore kemarin?

"Gak menjawab pertanyaan gue."

"Lo tau gak sih—"

"Lo jawab dulu pertanyaan gue, nanti gue juga bakal jawab pertanyaan lo. Gimana?" Aku memberikannya sebuah penawaran.

Kai menatapku tajam. Lalu berujung mendengus kasar seraya mengalihkan pandang, "Iya."

"Iya apa?"

"Iya, gue bohong."

"Kenapa?"

Kai terdiam, seolah memberi tahu jika ia enggan angkat bicara sebelum aku menjawab pertanyaannya.

Aku menghela napas, "Gue ada kenalan senior dan yaudah gue ikut aja ke sana. Tapi gue dilarang masuk, makanya gue nunggu di luar. Puas?"

"Tau gak lo itu tempat apa?"

"Sekarang giliran gue yang tanya. Kenapa lo bohong? Lo dimana waktu kejadian Adam kejar gue? Jangan bilang lo ada di loka—"

"Mereka nge-drugs."

Mendengarnya, aku langsung bungkam. Segala pertanyaan tentang Kai pada hari dimana Adam menghampiriku seolah menguap begitu saja.

"M-Maksudnya?"

"Emangnya gak pernah terlintas gitu dipikiran lo kenapa bangunan lapangan indoor itu tertutup? Gak aja jendela. Pintu juga dari besi, gak tembus pandang. Tinggal pilih aja lo mau ngapain di tempat tertutup yang jauh dari keramaian kayak gitu."

Aku yang mulai terdistraksi lantas berusaha mengurai ingatanku sehari lalu dengan perasaan tak menyangka. Apakah yang diucapkan Kai adalah kebenaran? Atau ada tujuan hendak menjatuhkan seseorang dibaliknya?

"T-Tapi gue denger kok ada yang main bulu tangkis di dalamnya."

"Emang gak semua, tapi sebagian besar. Gue bisa bilang gitu karena gue sempat masuk."

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang