his words were not interrupted [part 2]

16 5 2
                                    

Setelah sepuluh menit kepergiannya, Kai datang lagi ke dalam ruangan. Namun kali ini dengan raut wajah yang sudah normal, seolah ada hal lain yang berhasil mendistraksinya di luar tadi.

"Gimana? Udah kelar?"

Aku yang masih merasa malu sendiri lantas menanggapinya tanpa sempat menengok, "B-Belum."

"Padahal bikin gelas gampang tau."

Aku yang merasa tersindir lantas mendengus kesal. Aku rasa sisi menyebalkan dari seorang Kai yang suka belagak sok hebat kembali muncul, dan itu sungguh tidak menyenangkan.

"Sabar dong, namanya juga latihan," keluhku.

Kemudian ia berjalan mendekat.

"Itu lo salah, udah gue bilang harusnya tuh agak ditekan pegangnya." Kai menunjuk bagaimana tanganku yang seenaknya memegang spons tanpa ditekan dari sisi dalam.

"Udah gue tekan ini, emang agak susah buat—"

Namun kalimatku harus terpotong karena tiba-tiba saja Kai sudah berdiri seraya sedikit merundukan tubuhnya tepat di belakangku. Dengan kedua lengan yang berada di sisi kiri dan kananku, ia mulai bergerak leluasa mengarahkan jemariku untuk menaikkan dinding pada gelas keramik menggunakan spons.

"Susah apanya? Ini bisa," ucapnya pelan dengan sorot lurus ke depan.

Sedangkan aku yang membatu di tempat hanya mempersilahkan kedua tangan Kai membantu jemariku untuk bergerak sesuai dengan alur. Ini adalah posisi yang banyak dilakukan para pasangan ketika membuat sebuah karya keramik. Dan aku sungguh tidak menyangka akan mengalaminya bersama dengan seorang Kai.

Sesaat aku merasa bahwa ia berusaha membantuku dengan pekerjaan yang sedikit terburu-buru, entah apa alasan dibaliknya. Dan ketika ia sudah mulai sibuk dengan fokusnya, aku perlahan mulai menggerakan kepalaku untuk menengok ke arah samping di mana wajah tenang Kai berada.

Aku tidak menyangka wajahnya akan jauh lebih tampan jika dilihat dari jarak sedekat ini. Rahangnya terlihat tegas dengan hidung mancung yang sangat indah. Mendadak aku terlupa bahwa ia adalah Kaivan yang sering membuatku jengkel karena sikapnya yang terlalu jutek. Tapi ternyata ia jauh lebih mendingan dari apa yang pernah aku pikirkan sebelumnya.

"Ngapain lo?"

Padahal aku hendak bertanya, 'ngapain lo kayak buru-buru?' tapi nyatanya yang terucap malah kalimat sesingkat itu. Tentu Kai yang semula tampak fokus lantas mendengus geram.

"Ngapain? Ya bantuin lo lah. Bentar lagi ruangan mau ditutup makanya—"

"Kai."

Dan tanpa sadar aku malah memanggil namanya.

Hal itu lantas membuat Kai menanggapinya sembari menoleh ke arahku.

"Hah?"

Dan alhasil, kami pun bertatapan selama sesaat dalam posisi yang sangat dekat. Sungguh ini adalah rekor, karena sebelumnya Kai tidak pernah lupa untuk memberi jarak di antara kami.

Sedetik berikutnya, Kai langsung menjauhkan tubuhnya dengan cara melangkah mundur secara asal. Hal itu malah membuat gelagatnya yang salah tingkat justru terlihat semakin ketara. Apalagi ketika ia tidak sengaja menyenggol meja di belakangnya hingga membuat tubuhnya hampir terjungkal. Kai benar-benar seperti kehilangan jati dirinya sebagai sosok yang selalu terlihat dingin.

Namun kemudian, ia bisa langsung bangkit meski dengan raut malu.

"S-Sorry," ucapnya dengan tangan yang refleks mengusap rahang dan belakang lehernya gelisah.

Aku yang sadar apabila tangannya masih ada bekas warna tanah liat lantas terkekeh geli saat nodanya membekas di beberapa bagian di wajahnya.

"Itu tanah liatnya nempel di wajah lo."

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang