i had met her at the right time

11 5 0
                                    

Selama beberapa hari terakhir, hidupku layaknya diteror setiap kali menemukan keberadaan Kak Ace di sekitar. Meski hanya tatapan yang ia berikan, namun tetap saja bayang-bayang perilaku buruknya membuatku selalu dirundung perasaan campur aduk. Meski tidak terima dengan apa yang telah ia berbuat, tapi akupun juga tidak memiliki nyali sebesar itu untuk menegakan kebenaran. Aku layaknya boneka kayu yang tergeletak di bawah ranjangnya setelah dimainkan. Punya mata namun tidak dengan mulut, apalagi tenaga untuk melawan.

Dan begitu ia melewatiku yang terpaku di pinggir kelas layaknya orang asing, aku mulai kembali berpikir. Bahwa ini bukanlah akhir yang aku inginkan. Bahkan ketika membuka salah satu kantong tasku bisa aku temukan benda pipih yang tak lain merupakan keycard kamar apartement laki-laki itu masih bersamaku. Bisa saja itu merupakan tanda supaya aku bisa berbicara sedikit dengannya, dan mungkin itu untuk terakhir kalinya.

Maka dari itu aku putuskan untuk kembali membuka percakapan yang telah lama berakhir itu melalui Line.

Keira: Kak free kapan ya?

Kak Ace membalasnya setengah jam kemudian.

Ace: Nanti sekitar jam 4
Ace: Kenapa?

Keira: Mau ngobrol bentar bisa?

Ace: Boleh
Ace: Dateng aja di art gallery seni rupa

Bahkan ia tidak bertanya-tanya tentang apa yang hendak aku bicarakan.

Keira: Oke nanti aku dateng
Keira: Sekalian mau kasih kakak sesuatu

Ace: Sama
Ace: Aku juga mau kasih kamu sesuatu

Sesuatu?

Dan tanda tanyaku harus tertunda sampai waktu janji temu kami. Aku datang menggunakan payung karena hujan, saat ruangan luas itu hanya tersisa beberapa orang yang seliweran di bagian terasnya. Setelah merapikan tubuhku yang sedikit basah karena percikan air, aku mulai memasuki ruangan itu, untuk kesekian kalinya, dan menyisir pandangan ke segala arah. Hingga menemukan sosok Kak Ace tengah melukis sesuatu dengan posisi canvas membelakangiku, aku yang sempat tercenung lantas melanjutkan langkah perlahan.

Ia memang sangat berkharisma, hal yang biasa dimiliki orang tampan populer di kampus. Tapi amat disayangkan tabiatnya itu membuatnya terlihat tidak lebih buruk daripada sampah. Dan meski tidak bisa mengatakannya seterus terang itu, setidaknya aku harus bisa memberi sedikit peringatan. Walau entah akan berpengaruh atau tidak.

Aku berjalan mendekat, melewati dengan gerakan sopan kepada para senior yang memperhatikanku curiga. Hingga ketika diriku tiba dari balik canvas besar di hadapannya, Kak Ace buru-buru menyunggingkan senyum.

"Oh, hai."

"Ganggu ya Kak?"

Kak Ace menggeleng, "Enggak kok."

Detik berikutnya, ia mulai sibuk menyibak sebuah kain yang tergeletak dilantai untuk menutupi karyanya yang belum sempat aku lihat itu.

Ia seperti menyembunyikan sesuatu. Dan bukan sebuah hal yang mengejutkan.

"Jadi kamu mau bilang apa?" Tanyanya seraya membersihkan beberapa kuas dengan cara mencelupkannya ke sebuah wadah khusus.

"Ah, itu—"

Meski niatku sudah besar, namun sungguh percuma karena resah akibat nyali yang ciut mulai menguasai. Apalagi ketika tahu dari sudut mata apabila beberapa kenalan Kak Ace di dalam ruangan mulai terkekeh seraya melirik ke arah kami beberapa kali.

"Ace! Balik dulu!"

Salah seorang teman Kak Ace memanggilnya untuk berpamitan.

"Oh, oke Fi! Hati-hati!"

if only,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang