Hari ini adalah hari ospek pertamaku. Kami, para mahasiswa baru fakultas seni rupa, dikumpulkan menjadi satu di lapangan depan gedung dekanat. Orang-orang secara serempak mengenakan atasan putih dan bawahan hitam, dress code saat masa orientasi. Namun ada pula sebagian yang mengenakan jas almamater kampus, sebagai tanda bahwa mereka adalah panitia.
Selama kurang lebih dua jam kami dijemur dibawah teriknya sinar matahari yang membumbung tinggi di atas langit. Disisi lain beberapa dosen silih berganti naik ke podium yang disediakan untuk memberi kata sambutan hingga harapan untuk kami yang berbaris rapi menghadap mereka. Tak sampai disitu saja, seorang senior yang menjadi ketua pelaksana kegiatan ospek ini juga turut menyampaikan satu dua patah kata sebelum menginjak ke acara berikutnya.
Tentu tidak banyak yang dapat kami lakukan selain diam atau menghela napas panjang karena rasa pegal dikaki akibat terlalu lama berdiri. Belum lagi teguran para kakak tingkat perempuan yang berjaga dibagian belakang barisan bagi mereka yang ketahuan mengobrol. Penderitaan ini pun berakhir ketika interupsi untuk memasuki ruang kelas dikumandangkan melalui pengeras suara. Dengan bantuan beberapa senior, kami pun berjalan beriringan secara rapi menuju ruang kelas yang sudah ditentukan.
Bersama dengan rombongan anak yang juga berada di kelas C, kami pun melewati beberapa lokasi asing untuk tiba di ruangan yang dimaksud. Letaknya di lantai 2 gedung E dan menghadap sebuah taman dengan air mancur wanita yang membawa guci setinggi tiga meter sebagai pusat. Kebeeradaan sebuah sayap besi berwarna abu tua yang menghiasi punggung patung itu lantas membuatku takjub. Tampak unik dan menjadi pembeda dengan kebayakan patung yang pernah ku temui.
Sempat ku terpaku selama beberapa saat sampai tak menyadari bahwa antrean orang-orang di depanku sudah berlalu untuk memasuki ruang kelas. Merasa sebentar lagi adalah giliranku untuk mengisi lembar absen, membuatku refleks melangkah maju. Namun sebuah tepukkan pelan dipundak lantas memaksaku terhenti dan menoleh.
"Maaf, ini punya kamu bukan?"
Tangan seseorang menyodorkan sebuah dasi berwarna hitam ke arahku. Aku mematung sesaat. Hingga baru ku sadari bahwa aku kehilangan benda yang sama dengan yang diberikan sosok itu.
"A-Ah, iya, kayaknya itu punya aku," ucapku seraya beralih menatap wajah orang baik tersebut. Ia adalah seorang pria berambut hitam sepundak dengan senyum tipis disudut bibirnya. Selama sepersekian detik aku terpaku dengan kedua lensa gelapnya yang menatapku balik secara intens. Hingga ia memutuskan tautan itu dengan mempersilahkan anak-anak lain yang berada di belakangku untuk bisa lebih dulu melakukan absensi.
Aku mengerjapkan kedua matatku beberapa kali seraya menerima dasi itu dengan senyuman, "Terimakasih banyak kak."
"Sama-sama. Lain kali hati-hati ya, dikiranya kamu memang gak bawa dasi," tegurnya dengan suara ramah, tanpa ada sirat marah sedikitpun.
"Iya kak, siap. Terimakasih ya kak." Tanpa sadar aku berterimakasih sebanyak dua kali karena saking gugupnya.
Setelah itu, ia berlalu dari hadapanku menuju sebuah lorong yang mengarah entah kemana. Jantung yang berdegub kencang sempat membuat pikiranku kosong selama sesaat. Ku pasang kembali dasi yang sempat terjatuh dengan tergesa sebelum kembali masuk ke barisan. Seraya menunggu giliran, aku pun mencoba untuk melirik kembali ke arah lorong yang sempat dilewati senior tadi.
Entah apa yang ku pikirkan, tapi muncul sepercik harapan untuk bisa berjumpa lagi dengannya.
⋆
Suasana ruang kelas sedikit gaduh karena tiada senior yang mengawasi. Aku pun memanfaatkannya untuk berkenalan dengan beberapa orang yang duduk di sekitarku. Yang pertama ada Maura. Dia sosok yang cantik dengan kulit putih bersih dan rambut hitam panjang sepunggung. Auranya sangat kalem dan pemalu. Seolah-olah ia adalah kembang desa di kelas ini. Lalu ada Cantika. Dia berperawakan pendek, berkacamata, dengan senyuman yang manis. Sosoknya menyenangkan saat diajak ngobrol dan sangat ramah kepada siapapun. Kemudian ada Bella. Dia tinggi, pintar, dan cantik. Seperti Cantika, ia juga pandai membuka obrolan dan senang melontarkan lelucon.
KAMU SEDANG MEMBACA
if only,
RomanceKeira bertemu dengannya Agustus lalu, saat hari pertama ospek fakultas dilaksanakan. Semula yang terasa hanyalah percikan, bisa terabai. Tapi bagaimana ia bertutur dan berperilaku, pada akhirnya Keira merasa jatuh. Meski selama itu, tiada kata pasti...