Happy reading
Khawatir, satu kata yang sedang mendefinisikan keadaan Arvan sekarang ini. Arvan yang kini sedang dalam posisi menyetir pun terus saja melirik ke arah samping kemudi, yang disana terdapat Al yang masih saja memejam dan enggan untuk membuka matanya."Bangun bego, gue tau gue lagi benci sama lo. Tapi gak gini juga cara lo ngambil simpati gue Al! lo bisa dapetin maaf dari gue dengan cara minta maaf langsung, kalo gini kan gue jadi merasa gak becus jadi abang lo," Arvan terus menggerutu entah kepada siapa.
Sampai dimana Al perlahan membuka penglihatannya, ia terbangun dengan sedikit erangan. Lantas Arvan pun langsung menatapnya.
"Udah merem aja lagi," titahnya, padahal sebelumnya ia menyuruhnya bangun. Al hanya menggeleng.
"Ma..af.." ucap Al begitu lirih.
Arvan terkejut dengan ucapan itu, ia merasa malu jika sedari tadi Al mendengar perkataannya. "Lo denger?"
"Denger apa?"
"Bener?" Al mengangkat sebelah halisnya tak paham.
Al bingung. "Apaansi?"
"Oh, gaada. Gapenting juga kok." ujar Arvan canggung.
"Aneh."
"Lo mau bawa gue kemana Van?" Al mengubah posisi duduknya menjadi sedikit lebih tegak.
"Rumah sakit lah," Al langsung menatapnya tajam, apakah lelaki yang dijuluki abangnya ini hilang ingatan?bukannya Al paling tak suka jika dibawa ke tempat itu? kemarin saja ia dibawa kesana terpaksa karena Naya yang membawanya.
"Gak! gue mau balik."
"Gue bawa lo kesana sekalian buat cek kesehatan lo, gue ngerasa ada yang ganjal sama tubuh lo itu. Kalo ada apa-apa di tubuh lo tanpa sepengetahuan gue gimana? nanti tiba-tiba lo modar lagi," sewot Arvan.
"Gue gapapa," kekeh Al.
Pltakk!! Arvan reflek menoyor kepalanya. "Gapapa gimana anjir, jangan jadi kayak cewek bilangnya gapapa tapi kenapa-napa. Lo gatau tadi tu idung ngeluarin darah se ember tadi? mana warna muka lo pias banget, gue pikir gue bakalan telat maafin lo."
"Pulang!!" Al sedikit meninggikan suaranya.
"GAK!!" namun Arvan justru lebih kencang.
"Gue mau pulang Van," Al memalingkan wajahnya ke arah jendela dan menatap jalanan sendu.
Disisi lain Arvan merasa aneh saat mendengar kata pulang dari mulut adiknya itu. Kata pulang yang Al katakan entah kenapa membuatnya sedikit takut, padahal ia tau maksud Al adalah pulang ke rumahnya.
***
"Kita ke rumah sakit aja yu, liat kondisi si Al," Sando memberi saran kepada teman-temannya. Titambah juga sekarang dirinya sedikit bosan di markas, karena Al yang selalu membawa makanan kini tidak ada.
"Dia gak lagi di RS," celetuk Barra.
"Lah? kan tadi bang Arvan mau bawa dia ke RS."
"Si Al dirumah, si batu berulah tadi kata bang Arvan. Gamau dibawa kesana," balas Barra.
Aby mengubah posisinya menjadi lebih dekat dengan mereka. "Lo pada ngerasa kejadian si Al tadi ada sangkut pautnya gak sama si Aldo? kalo gue sih iya."
"Ih kok sama, gue juga mikirnya gitu masa. Apa jangan-jangan kita.." balas Adit dengan ekspresi so dramatis.
"Muka lo gausah gitu juga anjing," ledek Sando.
"Bales kaga nih Bar? biar kapok tu bocah."
"Jangan dulu. Kalo besok si Al sekolah dan ngizinin, kita langsung gas, tapi kalo dia bilang jangan ya gausah."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXONERATE [End]
Teen FictionRefalden Dakara, hanya seorang lelaki dengan sejuta luka, lelaki yang merasa dirinya tak begitu bermakna, dingin, datar tanpa peduli dengan sekitar. Hidupnya tak bercahaya, hanya putih, hitam, dan abu-abu saja. Kadang ia selalu bertanya-tanya, meng...