Happy reading
Sebuah kabar gembira akhirnya datang, Sando dikabarkan siuman tadi pagi. Meski, tak semua seluruh perasaan itu menyenangkan, karena ada kegelisahan di antara kesenangan itu semua, disaat kesadaran Sando yang terus mereka harapkan akhirnya terjadi, kini justru Al yang harus terpejam."Alhamdulillah," seru Aby.
"Pulang nanti langsung cabut dah ke RS!"ujar Aji.
Adit yang begitu antusias langsung menggebrak meja seketika. "SEKARANG AJA!"
"Raditya!!! apanya yang sekarang?" tegur seorang guru yang kini sibuk dengan laptopnya di depan sana.
"Pulangnya bu katanya," celetuk Ahmad, salah satu makhluk tengil sejenis Adit yang kini berada di bangku pojok depan.
"Mau pulang? pulang saja silahkan, tapi besok kamu tidak usah sekolah lagi disini, baru juga jam setengah sembilan."
"Mampus lo Dit, pake acara ngegas segala," ujar Sheril yang mejanya berada di sisinya.
"Anjing lu Ahmad deni!" gerutunya.
"Ahmad dani kali."
Adit menoyor kepala Aji. "Itumah artis, bego!"
***
Arvan sekarang memutuskan untuk izin sekolah, meski Dr.Satya memberitahukan bahwa kondisi Al sudah mulai stabil, namun rasa khawatir dirinya begitu besar untuk saat ini, ia hanya takut jika Al bangun nanti tidak ada siapapun di sekitarnya.
"Hobi banget sih kayak gini, apaan coba napas doang harus dibantu beginian? lo jadi ga keren tau," dumel Arvan sambil sesekali mengusap surai hitamnya.
"Ayah sama sekali belom dateng Al, kalo dia dateng lo mau bangun gak? sama cewek lo tuh, nangis mulu setiap nemenin lo disini, kan gak etis kalo cewek bar-bar kayak dia tiba-tiba galau. Satu lagi, Sando udah bangun noh, masa sekarang malah lo yang tidur."
Tok tok tok, Arvan melirik ke arah suara, ia bisa mendapatkan Widi yang baru saja datang dengan membawa jinjingan yang mungkin berisi makanan, namun dia datang seorang diri tanpa kehadiran Reza yang selama ini Arvan tunggu-tunggu.
"Abang belum makan ya pasti?" Widi meletakan makanan itu di atas meja.
"Padahal aku bisa beli sendiri bu, kasian ibu kan lagi hamil, nanti cape."
Widi tersenyum karena pertama kalinya Arvan mengkhawatirkannya. "Gapapa dong, bidannya bilang harus sering jalan-jalan. Nih makan dulu, ibu gamau kamu ikutan sakit."
Arvan langsung melahap makanan yang dibawa oleh Widi itu, merasa begitu menyesal karena baru bisa menerima statusnya sebagai ibu baru, padahal benar apa yang dibilang Al, mungkin tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi bunda, namun Widi bisa bertanggung jawab mengurus mereka seperti layaknya bunda.
"Kakak pengen ayah kesini ya? kalo ayah dateng kakak harus udah bangun, ibu gabisa loh liat anak ganteng, baik, sabar kayak kamu harus kayak gini," ucap Widi yang kini duduk di sisi ranjang milik Al.
***
"Al beneran gamasuk yah, mati kayaknya. Berarti udah ya? perintah ayah yang nyuruh aku buat deketin dia selesai."
"Hah? kakaknya? engga! Aku mau fokus sama Deon sekarang yah, tinggal samperin bokapnya aja apa susahnya sih, ancam dia supaya tanggung kesalahannya sama suruh minta maaf aja,"
"Pokoknya aku udah gamau berurusan lagi sama masalah itu, Deon juga kayaknya udah cape, ok bye!"
Tutt..
Barra yang baru saja keluar dari toilet, mendengar percakapan gadis dengan orang di handphonenya itu yang kini berada di luar toilet wanita. Barra langsung mengepalkan tangannya, ia tau maksud dari ucapan itu, ia semakin murka saat melihat siapa gadis yang kini sudah berlalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXONERATE [End]
Teen FictionRefalden Dakara, hanya seorang lelaki dengan sejuta luka, lelaki yang merasa dirinya tak begitu bermakna, dingin, datar tanpa peduli dengan sekitar. Hidupnya tak bercahaya, hanya putih, hitam, dan abu-abu saja. Kadang ia selalu bertanya-tanya, meng...