Happy reading!
Sang raja siang telah kembali bertukar tugas dengan sang rembulan, cahayanya mulai memasuki sebuah kamar yang dimana disana terdapat seorang remaja yang masih enggan untuk sekedar membuka mata, dan melihat siapa orang yang tengah membukakan gorden kamarnya.
Widi berjalan menghampiri Al, berusaha untuk membangunkannya. "Bangun Al, kamu bisa telat berangkat sekolahnya."
Al mengerang perlahan dan mulai meregangkan tubuhnya. "Iya, ini bangun."
"Bangun kok masih ditutup matanya," balas Widi sedikit terkekeh gemas melihat Al.
"Udah sana mandi! nanti ayah marah loh."
Al bercermin merapihkan seragamnya yang sama sekali tak ada perubahan, atau mungkin memang dia tak berniat untuk serapih mungkin, ia menyambar jaketnya lalu pergi untuk ikut sarapan.
"Selamat pagi," sapa Arvan tiba-tiba yang membuat Al sedikit bingung sekaligus geli.
"Mulai sekarang berangkat sekolah bareng Arvan! gaada naik motor lagi, kuncinya udah ayah pegang," suara dingin dan tegas itu mampu membuat Al dan Arvan langsung menatapnya terkejut.
"Nggak," elak Al.
"Jangan membantah!"
"Anda siapa berani-beraninya mengatur saya, bukannya sudah tidak peduli?" Al masih kekeh tak setuju dengan apa yang Reza katakan.
"Saya ayahmu!" ujar Reza sedikit membentak, Widi dan Arvan pun hanya bisa menghela napas melihat pertengkaran itu.
"Udah Al nurut aja," Al menatap Arvan kesal.
"Udah cukup ayah nyiksa aku. Udah..jangan nambah lagi buat aku nurut sama semua kemauan ayah, dan patuh sama peraturan yang ayah buat gitu aja,"ujarnya lirih.
"Ayah punya alasan atas hal ini."
"Apa? sejak kapan ayah memperdulikan hal yang gak guna kayak gini?" Al berucap dengan nada dinginnya.
"Sejak ayah tau penyakit yang ada di tubuh kamu," deg, Al mematung seketika mengapa ayahnya bisa mengetahui hal itu? ia kemudian melirik Arvan dengan berbagai tanda tanya.
"Gue gak mampu ngurus hal ini sendirian, Al," Arvan merasa sedikit bersalah telah memberitahukan soal penyakit Al tadi malam kepada Reza.
"Anjing! kalo gak mampu gausah sekalian, gue bisa urus hal ini sendiri."
"Alden! bicara yang sopan dengan abang mu!"
"Alasan penyakit itu bisa ada di tubuh lo, karena lo gak becus jaga diri sendiri bego! kenapa, mau ngelak? emang itu kebenarannya kan, ini bukan takdir namanya Al, lo nya aja yang cari masalah sendiri, abis itu lo nunjukin bahwa lo orang yang paling menyedihkan dan paling menderita karena banyak masalah, dan seolah Tuhan gak adil sama lo, padahal itu ulah lo sendiri," ujar Arvan tanpa berpikir setelahnya akan berdampak seperti apa.
Al pergi tanpa sepatah kata pun, sudah cukup, ia tak ingin mendengar omong kosong itu lagi, hal itu hanya menambah rasa pening dikepalanya.
Arvan sadar dan langsung berlari menyusulnya. "Al! tunggu dulu, gue ga bermaksud buat-"
"Ngeluarin isi hati lo?" balas Al meski sedikit bergetar namun terkesan dingin
Tes, cairan bening lolos dari ujung mata Al, Arvan merasa hatinya teriris, sebab untuk pertama kalinya Arvan melihat adiknya menangis, dan itu pun karenanya.
***
Sesampai di kelas Al langsung menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan, mungkin hal ini tidak asing untuk temannya, namun diamnya Al untuk yang kali ini merasa sedikit berbeda, saat masuk mata Al sedikit sembab dan itu membuat Barra yakin bahwa anak ini baru saja menangis, namun karena apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
EXONERATE [End]
Roman pour AdolescentsRefalden Dakara, hanya seorang lelaki dengan sejuta luka, lelaki yang merasa dirinya tak begitu bermakna, dingin, datar tanpa peduli dengan sekitar. Hidupnya tak bercahaya, hanya putih, hitam, dan abu-abu saja. Kadang ia selalu bertanya-tanya, meng...