all will be done, and end well
~Deon
⛓Happy reading
Keduan pemuda yang kini sedang berada di halaman rumah sedang asik berbincang, dan entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa puntung rokok sudah ludes terhisap, hanya tersisa setengah gelas kopi juga susu coklat di meja. Hening seketika menyelimuti mereka berdua, sampai dimana salah satunya membuka suara."Lo yakin damai sama si Al?" Tanyanya, lelaki yang diberi pertanyaan pun langsung mengagguk mantap. Ia sudah benar-benar ingin damai dengan keadaan itu.
"Yakin, gue gamau nyesel bahkan gue takut gak keburu buat maafin dan minta maaf sama dia. Bantuin gue Yo, bantuin gue buat nyerahin bukti-buktinya ke kepolisian, cuma ini yang bisa gue lakuin," hanya itu jawaban Deon kepada sang ketua.
"Ngapain lo sibuk ngurusin beginian sih, nyokapnya udah mati beberapa tahun lalu, lagian lo gak takut nanti terjadi apa-apa? gue tau lo merasa bersalah, tapi gausah ngurusi masalah yang gaada urusannya sama lo juga lah kali," ujar Rio kembali.
"Gue udah damai, itu berarti si Al udah balik jadi sahabat gue, gue tau gimana baiknya nyokap dia. Ditambah sekarang gue tau penyebab nyokapnya meninggal karena apa, dan gue pun punya buktinya. Apa pantes gue biarin gitu aja sahabat gue dalam kesalah pahaman sama tuduhan penyebab nyokapnya mati? ya walaupun sama bokapnya udah baikan, gue cuma mau nebus kesalahan gue aja, yang udah benci dan nuduh dia pembunuh selama beberapa tahun kebelakang. Dia sekarat Yo, gue gamau dia pergi gitu aja tampa gue yang belum bisa jadi sahabat baiknya," Rio mematung mendengar ucapan Deon, karibnya yang biasa terlihat bringas kini terdengar begitu tulus dalam ucapannya, Rio pun menepuk pelan pundak yang kini sudah tak tegap itu, berharap bisa menyemangatinya.
"Gue bantu lo, bunuh pelakunya pun gue sanggup."
Deon mendongak menatap Rio. "Thanks, Yo."
***
Malam sudah berganti peran dengan pagi, Arvan hendak menuruni tangga rumahnya untuk segera sarapan, namun saat ia menatap arah meja makan, belum terdapat Al disana, inisiatif ia berbalik arah menuju kamar sang adik untuk membangunkannya. Ia mengetuk pintu itu, sekali dua kali masih belum terbuka, dan selanjutnya ia menyerukan nama si empunan.
"Al bangun! lo mau telat?" masih hening, dan itu membuat Arvan geram. "BANGUUN WOOOYY!!!! GUE DOBRAK NIH YA, BANGUN GAK, Al gue itung ya satu...dua..ti—" pintu itu terbuka, menampil Al yang kini sudah berseragam, meski dengan muka yang terbilang tak cukup baik, begitu pucat ditambah dengan mata sayunya.
"Berisik lo!"
Arvan menelisik dirinya dari atas hingga bawah. "Ganti baju sonoh! gausah sekolah."
"Orang mau nyari ilmu lo larang," Jawab Al.
"Nyari ilmu dalam keadaan gini mana bisa tu ilmu masuk ke otak lo, turun sarapan, minum obat, molor lagi!" Tak menggubris, Al justru melesat menuju meja makan meninggalkan Arvan yang kini memasang mimik kesalnya. "BATU! emang ya, lo itu batu sekeras keras kerasnya batu!"
"Ada apa bang? Pagi-pagi udah teriak-teriak," tanya Widi yang kini sedang menyiapkan sarapan di lantai bawah.
"Tau tuh, ganggu tetangga aja," Dengan datar Al menimpal, tersenyum mengejek tipis, lalu beranjak pergi.
"Lo yang bikin gue teriak, liat bu pucet gitu sok-sok an mau sekolah, paling juga lo belok ke warung kan?" adunya.
Widi tidak ngeh, ia kembali menatap putra keduanya dan ternyata benar apa yang dikatakan si sulung. "Iya pucet, gausah sekolah ya kak?"
Al menghela napas kasar. "Sakit itu jangan di manja bu, aku berangkat," ia menyudahi sarapannya, menyalami sang ibu lalu beranjak pergi, Reza yang baru saja turun dari tangga pun tak sempat melihatnya untuk sekedar berpamitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXONERATE [End]
Teen FictionRefalden Dakara, hanya seorang lelaki dengan sejuta luka, lelaki yang merasa dirinya tak begitu bermakna, dingin, datar tanpa peduli dengan sekitar. Hidupnya tak bercahaya, hanya putih, hitam, dan abu-abu saja. Kadang ia selalu bertanya-tanya, meng...