Happy reading
Waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi, tak ada tanda-tanda sama sekali untuk Reza memindahkan atau membangunkan Al yang kini masih terlelap di sofa ruang tengah. Semalam, Reza tak pergi untuk tidur di kamarnya, karena ia tak kuasa menahan rasa kantuk saat menonton bola tadi malam, atau lebih tepatnya ia tak tega meninggalkan Al sendirian, entah makhluk apa yang akhir-akhir ini memasuki tubuh pria paruh baya itu, perubahan ini begitu terlihat tiba-tiba.
Remaja tampan masih enggan membuka matanya, padahal dirinya sudah lebih dari delapan jam tertidur, namun sekarang Al terlihat sedikit gelisah dalam lelapnya. Ada kerutan-kerutan halus pada dahi lelaki itu, juga buliran keringat yang entah sejak kapan keluar, dan Reza pun baru menyadarinya. Ia meletakan punggung tangannya di dahi itu, dingin. Entah bagaimana rasanya bisa begitu dingin, padahal kenyataannya anak itu penuh dengan peluh.
"Yah?" Reza terkesiap saat mendapat teguran dari seseorang di belakangnya, dia Arvan yang baru saja turun dengan pakaian ciri khas orang akan melakukan ibadah.
"Eh, bang udah bangun?"
"Bentar lagi subuh, ayah gak pindah ke kamar? Al udah di pindahin kan, atau pindah sendiri?"
Reza sedikit gelagapan, merutuki dirinya yang bisa dibilang bodoh membiarkan Al tertidur di luar kamar seperti ini. "Ah Al? ayah lupa mindahin dia bang."
Arvan kemudian berjalan menghampiri keduanya, ia tatap si empunan yang masih terpejam itu, ada sedikit kejanggalan saat ia memfokuskan pandangannya pada wajah sang adik. Terlihat lebih pucat dari biasanya, peluh yang begitu banyak, Arvan berpikir bahwa Al kini terserang demam, pantas saja Reza terlihat sedikit gelagapan.
Malam tadi ia mendapatkan moment yang mengindahkan saat baru saja tiba di rumah, melihat Al yang sedang tertidur di sofa dengan Reza yang terlelap dengan tangan yang berada di kaki Al seolah mengelus, membuat Arvan sedikit lega, bertanya-tanya soal apa yang Widi ungkapkan kepada ayahnya yang notabenya begitu keras kepala, kini luluh begitu saja.
"Dia demam?"
"Ayah juga pikirnya gitu, tapi.. bukan panas yang ayah rasa waktu nyentuh dahinya, tapi dingin bang," jawab Reza.
Al menggeliat risih seperti menahan sakit. "Eungghh.."
Hampir saja tubuh itu terjatuh dari sofa, lantas Reza dengan sigap menahannya,. Al mengerjapkan mata beberapa kali, buram. Penglihatannya kembali berulah saat ini, ia tak dapat menangkap wajah sang ayah yang kini entah sedang gelisah karena mengkhawatirkannya atau bagaimana.
"Bilang sama gue mana yang sakit!" ungkap Arvan yang kini sedang berjongkok di hadapannya.
"Gaada," bohongnya dengan nada dingin.
Arvan hanya menghembuskan napas kesal. "Mungkin lo bisa boong, tapi engga sama tubuh lo," ujar Arvan ketus.
"Gue gapapa!" bantah Al, ia langsung beranjak menuju kamarnya untuk bersiap pergi sekolah.
"Ck, batu banget lo!"
"Udah bang, biarin dulu," ujar Reza mencegah Arvan yang hendak mengejar adiknya.
***
Di ruang tamu, suara garpu dan sendok yang beradu terdengar, ada empat kepala disana yang sedang menyantap sarapan paginya. Ada sedikit kejadian aneh saat ini, Al hendak memasukan suapan ke tiganya ke dalam mulut namun seketika sendok itu terjatuh dengan makanan di atasnya, lantas semua atensi pun menatapnya heran.
"Kok dijatuhin Al? gaenak ya?" tanya Widi.
Al hanya diam menatap tangannya yang terasa kebas, tidak bertenaga sama sekali untuk sekedar mengangkat benda seringan sendok itu, kepanikan yang kini melandanya, tak mengira kejadian seperti tadi datang tiba-tiba, namun Al tau ini adalah ulah dari makhluk yang berada di kepalanya, mungkin penyakit itu kini akan mulai menghancurkan persendiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXONERATE [End]
Genç KurguRefalden Dakara, hanya seorang lelaki dengan sejuta luka, lelaki yang merasa dirinya tak begitu bermakna, dingin, datar tanpa peduli dengan sekitar. Hidupnya tak bercahaya, hanya putih, hitam, dan abu-abu saja. Kadang ia selalu bertanya-tanya, meng...