Happy reading
Malamnya, di sebuah tempat yang sering Al katakan bahwa tempat ini biasa ia sebut surga di kompleknya, disana terdapat dua insan yang kini sedang menatap danau kecil di hadapannya.Al merekatkan jaket yang sedang ia pakai, sesekali ia melirik gadis yang berada di sisinya. Al bingung, mengapa gadis itu bisa-bisanya menggunakan pakaian pendek dalam keadaan seperti ini. Ya, Naya tak sempat mengganti pakaiannya, karena ia pikir untuk apa menggantinya, toh hanya beberapa meter dari rumahnya.
"Gue tau kok gue cantik, tapi gausah lo liatin mulu kali," ujar Naya, Al sedikit terkejut sekaligus heran, mengapa gadis itu bisa mengetahui bahwa ia sedang memandangnya, padahal Naya terus menatap ke arah depan.
"Kaget kan lo? asal lo tau, mata gue ada empat," lanjutnya.
Al memalingkan pandangannya ke arah lain. "Mana ada."
"Mata gue dua sama mata kaki dua," celetuknya, namun Al tak bereaksi apapun.
"Ketawa kek," Naya memanyunkan bibirnya kesal, lelaki itu justru masih menatap ke arah lain.
"HA!HA!HA!HA!" Al tertawa keras namun terputus-putus, jelas sekali bahwa tawanya itu dibuat-buat seolah mengejek Naya.
"Udah diem aja lu! kesannya kayak orang lagi menderita disuruh seneng."
"Emang," balas Al datar, Naya merasa sedikit bersalah soal ucapannya tadi.
"Hehe sorry, btw ini kita kek kurang kerjaan banget, diem doang gak ngapa-ngapain."
"Lo maunya kita ngapain?" ujar Al santai dan sedikit polos, Naya yang pikirannya selalu dipenuhi pasir, pikiran ngeresnya kambuh, dan langsung memukul lengan Al pelan.
"Kok mukul?" Al menatap Naya bingung.
"Abisnya lo...gak jadi, terserah sih, kalo lo maunya ngapain?"
"Diem," setelahnya mereka berdua benar-benar diam, kini Naya melakukan aksi melempar batu-batu kecil ke danau, dan Al hanya diam menikmati sensasi dingin yang terasa seperti menusuk tubuhnya.
"Gue seneng lo udah gak kayak tadi malem Al, gue panik banget liat keadaan lo, ditambah denger perkataan Adit yang nyalahin lo mulu, dan perkataan lo yang gue gasuka."
Al tersenyum tipis. "Makasih."
"Untuk?"
"Disaat mereka benci dan nyalahin gue, gamau denger alasan, dan penjelasan gue, tapi justru engga sama lo," ujarnya.
Naya mendekatkan posisinya mendekati Al. "Kalau gue sampe sama kayak mereka gimana?"
"Paling gue mati, dan gabakalan ada disini," lirihnya.
"Gue gabakal biarin itu terjadi," bisiknya, ia genggam kedua lengan si empunan itu lalu mata hitamnya berpapasan dengan mata hazel yang berada dihadapannya.
"Semangat buat tanding besok! lo mesti fokus, supaya menang, Sando pasti seneng liat tim lo menang. Pulang yuk! gue gamau lo sakit lagi, besok lo harus sehat walafiat."
***
Al melangkah gontai memasuki rumahnya, sial tubuhnya sama sekali tidak bisa diajak kompromi, kepalanya terasa pusing semenjak di danau tadi, namun pikirnya itu karena efek ia belum meminum obatnya. Saat tubuhnya hampir terhuyung ke depan, kiranya ia akan menyentuh lantai dingin rumahnya, namun hal itu tidak terjadi karena ada seseorang yang menahannya.
"Lo ga apa-apa?" tanya orang itu dengan nada sedikit panik, namun Al hanya menggeleng pelan.
Di sisi lain, ada sosok yang sedari tadi memerhatikan gerak-gerik kedua remaja yang berstatus sebagai anaknya, orang itu Reza, ada sedikit rasa penyesalan atas apa yang ia lakukan kepada putra keduanya itu kemarin, terlebih melihat keaadaan nya tadi yang sedikit memprihatinkan, ingin rasanya membantu, namun ego masih lebih berkuasa dalam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXONERATE [End]
Teen FictionRefalden Dakara, hanya seorang lelaki dengan sejuta luka, lelaki yang merasa dirinya tak begitu bermakna, dingin, datar tanpa peduli dengan sekitar. Hidupnya tak bercahaya, hanya putih, hitam, dan abu-abu saja. Kadang ia selalu bertanya-tanya, meng...