Semua akan pergi,
hanya perlu menunggu, menunggu,
dan menunggu itu terjadi pada kita
~ Refalden Dakara
⛓️Happy reading
Seperti biasa, para siswa pada pagi ini kembali melaksanakan tugasnya sebagai seorang pelajar. Bel sudah berbunyi beberapa menit lalu tetapi tak dapat membuat mereka berhenti melakukan hal-hal aneh di dalam sana hingga menyebabkan kericuhan. Namun suara gaduh seketika lenyap, saat dimana seorang guru memasuki kelas dengan tampang datarnya."Alesha," gadis tersebut mengacungkan tangannya saat guru yang sedang mengabsen di depan sana menyerukan nama dirinya.
"Anaya..?"
"Hadir bu."
"Baskara.." untuk yang satu ini ia tak mendapat sahutan, serempak mereka pun menoleh ke bangku si empunan.
"Sst nyet! absen noh!" tegur Sando menyenggol Adit yang masih saja terlelap.
"Ntar.." sahutnya bergumam pelan sanking nyamannya ia terlelap.
"Baskara Raditya!" Adit langsung terbangun masih dengan wajah bantalnya, ia melirik Sando kesal dan mendorong sedikit lengan si empunan.
"Gue bilang bentar nyet!" seketika kelas riuh dengan gelak tawa atas apa yang teman kelasnya perbuat, namun detik berikutnya pun mereka serempak terdiam.
Guru tersebut meletakkan buku absen kembali, menatap Adit tajam seperti halnya harimau yang singgap menerkam mangsanya. "Keluar! tidak usah ikut pelajaran saya hari ini!"
"Bu bercanda bu, tadi saya kira Sando yang manggil," mohonnya meski masih dengan rasa kantuknya.
"Keluar Radit!" Adit menurut saja pasrah, ia menyenggol kaki Sando seperti tak terima atas hukuman ini, tapi di sisi lain pun sebenarnya ia senang, toh setelah ini ia dapat melanjutkan tidurnya di UKS.
Kelas mereka selesai, setelah kejadian Adit tadi entah kenapa guru itu menjadi sensi saat ada beberapa murid yang bertanya tentang pelajaran yang tidak dimengerti. "Si Adit sih malah molor dia, jadi gurunya gak asik kan."
"Emang gak asik kali, kayak lu," celetuk Aji.
"Kali aja lagi datang bulan tu si ibu," sahut Sando.
"Balik nanti ke RS gak nih?" tanya Barra ikut menghampiri mereka yang berada di pojok kelas.
"Gass lah, kata si Naya tadi kan si Al dah siuman dari semalem."
"Bawa apaan yak bagusnya?" ujar Aby.
"Tumpeng aja gimana?" balas Sando, seketika Aji melingkarkan tangannya pada leher anak itu dan menoyor kesal kepalanya. "Yeuu goblok!" Sando mengelus kepala, merasa jika hal yang diucap tadi sepertinya tidak ada yang salah.
"Kan sebagai rasa syukur Ji," balasnya.
***
Di ruangan bernuansa putih itu hanya terdapat Arvan saja yang setia menemaninya, sesekali mereka mengobrol meski berakhir dengan adu mulut. Kali ini Arvan memfokuskan dirinya pada layar handphone, membiarkan Al yang kini sama sibuknya dengan laptop, ia sedang mencari beberapa informasi tentang operasinya, yang ia setujui semalam. Selang beberapa menit kemudian ia menutup pelan laptopnya, tangannya beralih memijat pelan pelipis dan pangkal hidung.
"Gue bilang juga apa, lagian ngapain sih buka laptop segala, pusing kan lo?" Arvan bergerak menghampiri, mengambil benda yang kini berada di pangkuan Al, lalu ia letakkan kembali ke meja.
"Liat apaan sih, gak biasanya lo buka laptop," dengan rasa penasaran ia membukanya, tertegun dengan apa yang ada dalam pencarian sang adik.
"Lo beneran mau operasi? dulu bukannya lo ya yang gamau? kok sekarang semangat gini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EXONERATE [End]
Teen FictionRefalden Dakara, hanya seorang lelaki dengan sejuta luka, lelaki yang merasa dirinya tak begitu bermakna, dingin, datar tanpa peduli dengan sekitar. Hidupnya tak bercahaya, hanya putih, hitam, dan abu-abu saja. Kadang ia selalu bertanya-tanya, meng...