Alda berdiri bersebelahan dengan Riko sambil menatap dua gundukan tanah di depan mereka. Manggala benar-benar hampir kehilangan semua orang-orang penting di dalamnya.
Riko merangkul kakaknya itu, mereka berdua turut merasa terpukul atas kepergian Raja.
"Ga ada Revan sekarang... Ga ada Raja juga... Yang harus ngurusin ini semua siapa..." Ucap Alda pelan.
Riko menatap Sabrina yang hanya termenung, menatap makam ayahnya dalam diam.
"Kita." Ucap Riko pada Alda "Please mbak, jangan ada yang mati di antara kita..."
"Mbak juga maunya gitu" ucap Alda dengan sedih "Demi apapun, kalau mbak ketemu Ratu, mbak beneran bakal langsung bunuh dia. Ga peduli lagi dia sepupu mbak atau bukan."
Riko melirik Yoshi yang berdiri tak jauh dari Darren. Kemudian ia menghela nafas "Bisa ga sih kita berhenti kayak gini?"
Alda menatap adiknya yang jauh lebih tinggi darinya itu "Nope. Kita kayak gini karena Ratu dan Marco ga akan berhenti sebelum semua Manggala mati."
Sungguh.
Kenapa semua orang di sekitarnya seolah harus saling membunuh sih?
Memangnya tidak bisa ya mereka tenang-tenang saja?
Jansen berjongkok di sebelah Sabrina, kemudian merangkulnya erat "... Ini pasti berat banget buat kamu"
Sabrina yang tidak menangis sejak tadi menoleh ke arah Jansen "Gue gapapa. Gue seneng ayah mati... Ga ada yang bisa mukulin gue, ngebentak gue, ngehina gue... Gue bebas sekarang, Sen."
Ucapan Sabrina memang terdengar jahat, tapi Jansen benar-benar sedih karena di matanya, Sabrina menampakkan kehancuran.
Jansen mengusap kepalanya, kemudian memeluknya "Kalau ga mau nangis di sini gapapa, aku paham kamu ga mau kelihatan lemah... Tapi jangan pernah takut buat nangis di depan aku... Kamu ga boleh sok kuat kalo lagi sama aku. Ya?"
"..."
Jansen bisa merasakan Sabrina mengeratkan pelukannya dan menangis di bahunya. Ia langsung mengusap belakang kepala istrinya itu untuk menenangkannya.
"Lo udah cek siapa aja yang dateng ke rumah sakit Tirtanendra kemarin?" Tanya Darren pada Bimo.
Bimo mengeluarkan kertas-kertas berisi ribuan nama orang yang ada di sana.
"Karyawannya sendiri aja ada 1.000 orang. Belum lagi pasien di sana... Lo yakin bisa nemuin Marco dari nama-nama ini?" Tanya Bimo dengan helaan nafas lelah. Jujur, baru melihat tebalnya dokumen ini saja Bimo sudah mau masuk angin.
"Gue masih bisa mempersempit semuanya." Ucap Darren pada Bimo "But it needs time."
Bimo menepuk-nepuk bahu Darren, memberi semangat.
"Lo udah ambil rekaman cctv di rumah sakit?" Tanya Darren pada Rafa.
Rafa mengangguk "Tapi cctv di lift sama di rooftop hari itu lagi mati, mas... Jadi Rafa cuma punya ini" ucapnya sambil memberikan flashdisknya.
Tentu saja.
Tidak mungkin Marco membiarkan cctv merekam dirinya.
"Ren" panggil Bima
Darren hanya mengangkat alisnya ketika Bima menunjukkan sebuah gelang di sana.
"Ini ada di TKP. Gue minta ke papa" Ucap Bima.
Darren benar-benar familiar dengan gelang tersebut.
"Loh... Ren? Itu gelangnya Jay" ucap Jansen yang sedari tadi memang mendengarkan karena orang-orang itu memang tidak bisik-bisik sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Home [END]
Fiksi Penggemar[Ineffable Universe Phase 2] "it's gonna be a hell of trouble..." "But trouble never been this fun" ------------------------------------------------------------ Permasalahan yang menimpa 5 sekawan belum juga berakhir. Walaupun ada yang bilang mereka...