Mati satu tumbuh seribu.
Katanya begitu, tapi bagi Sabrina, kematian Jansen tidak akan mendapatkan penggantinya.
Jansen Surendra.
Entah sejak kapan Sabrina merasa bahwa nama Jansen itu menjadi nama yang paling sering ia ucapkan di dalam hatinya. Nama yang selalu muncul saat ia senang, sedih, atau bahkan marah sekalipun.
Singkatnya, semua emosi yang dirasakan Sabrina tidak pernah terlepas dari Jansen.
Kata-kata seperti 'aku sayang kamu', 'aku cinta kamu' dan sebagainya selalu terlontar dari mulut lelaki itu untuknya. Tetapi Sabrina tidak pernah sekalipun mengucapkannya untuk Jansen.
Karena Sabrina selalu berpikir...
Masih ada hari esok.
Bahkan Sabrina pun berpikir bahwa ia bisa memberikan kejutan untuk Jansen dan mengatakan bahwa dirinya hamil. Kehamilannya yang tidak terlihat itu ia anggap sebagai sebuah keuntungan pada awalnya.
Tetapi kini, Sabrina merasa menyesal tidak memberitahu Jansen dari awal.
Semua reaksi senang yang dibayangkan Sabrina tidak akan dapat ia lihat sampai kapanpun.
Semua senyuman yang selalu ditunjukkan lelaki itu juga tidak akan lagi bisa ia jumpai.
Dan ucapan seperti 'semangat hari ini!', 'jangan lupa istirahat', dan 'kamu selalu keren' yang selalu Sabrina nantikan di setiap ia mengawali dan mengakhiri hari, tidak lagi bisa ia dengar.
Benar kata orang, manusia akan menganggap seseorang berharga saat kehilangan orang tersebut.
Tidak tau sudah berapa banyak airmata yang Sabrina teteskan saat ia sadar. Melihat seseorang yang ada di sebelahnya adalah ibunya dan bukan Jansen membuatnya yakin bahwa Jansen benar-benar sudah tiada.
Ada yang pernah bilang bahwa jika kamu menangis tanpa suara tandanya tangisan kamu itu berasal dari hati yang hancur tak bersisa.
Dan Sabrina bisa menjadi saksi bahwa pernyataan itu benar adanya.
Selama 5 jam penuh Sabrina menangis hingga sinar matahari pagi mengintip dari jendela kamar rawatnya.
"Loh... Kamu udah bangun???" Maya yang baru terbangun langsung menatap anak semata wayangnya itu dengan khawatir. Tetapi ia juga tidak mampu mengatakan apapun karena Sabrina terlihat sangat hancur.
"Jansen... Mana, bunda?" Tanya Sabrina dengan tatapan kosong.
Maya langsung bisa merasakan airmata berkumpul di pelupuk matanya "Nak..."
"Jansen marah ya sama aku? Makanya dia ga mau ke sini..." Sabrina meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya.
Sungguh.
Maya pernah berada di posisi Sabrina, ketika Raja meninggal ia juga sama hancurnya. Ia berharap anaknya tidak akan merasakan pahitnya ditinggal orang yang dicintai, tapi ternyata naas...
Sabrina harus tetap merasakannya.
"Kenapa sih, bunda?" Sabrina terus menatap tembok kosong di depannya "Kenapa harus Jansen yang pergi?"
"Nak, Tuhan pasti punya rencana-Nya sendiri—"
"Engga." Sabrina menggeleng "Tuhan itu ga ada. Tuhan itu jahat. Kenapa Tuhan malah ambil Jansen dari aku? Padahal kalau Dia ada, harusnya Dia tau kalau aku butuh Jansen..."
Maya menarik Sabrina ke pelukannya, kemudian membiarkan anak perempuannya itu menangis hingga puas.
"JANSEEEENNNNNNN!!!!!!!!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Home [END]
Fanfic[Ineffable Universe Phase 2] "it's gonna be a hell of trouble..." "But trouble never been this fun" ------------------------------------------------------------ Permasalahan yang menimpa 5 sekawan belum juga berakhir. Walaupun ada yang bilang mereka...