"Itu nggak mungkin." Fia mendudukkan dirinya di ranjang tanpa menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Tapi aku dengar sendiri, Fia. Tadi aku juga sempat rekam, tapi nggak tahu suaranya terdengar atau nggak," balas Tsuyoshi dari seberang telepon.
"Coba kirim ke aku rekamannya. Biar aku denger sendiri."
Tsuyoshi menghela napas panjang. "Oke, aku kirim. Tapi sekali lagi aku nggak yakin suaranya terdengar atau nggak karena aku sendiri belum dengar ulang rekaman itu."
"Yaudah nggak papa. Yang penting kamu kirim ke aku dulu." Fia lalu memutus sambungan telepon dan menunggu chat dari Tsuyoshi yang berisi rekaman yang dimaksud tadi.
Sebuah notifikasi yang Fia tunggu membuat cewek itu sedikit ragu. Ia menekan tombol play lalu mendekatkan speaker ponselnya ke telingan kanannya.
Suara-suara itu terdengar samar namun sesekali terdengar begitu jelas. Sepertinya rekaman suara selama hampir sepuluh menit itu berdampak besar pada Fia. Menimbulkan perasaan kecewa yang mendominasi.
Aku ... harus gimana sekarang?
Sahabat yang begitu dipercaya, mengatakan hal yang sama sekali tidak ia duga kepada orang lain. Memanipulasi kenyataan yang sebenarnya sedang ia coba perbaiki.
Fia kemudian kembali menelpon Tsuyoshi. "Terus sekarang aku harus gimana?" Tanya cewek itu ketika panggilannya sudah tersambung.
"Kamu maunya gimana?"
"Nggak tau." Suara Fia melemah, benar-benar tidak memiliki rencana apapun.
"Mau pergi dari rumah itu? Nanti aku bantu cari apartemen."
Fia tidak menjawab. Bahkan seolah tidak mendengar suara Tsuyoshi di seberang telepon. Sama sekali tidak memiliki selera untuk berbicara.
"Nanti aku pikir lagi. Maaf." Lalu sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Fia.
Cewek itu meletakkan ponselnya di nakas lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur. Memejamkan matanya kuat, berusaha mengingat apa saja hal yang sudah terjadi selama ia tinggal di Jepang.
.
"Kematian kakak bukan salahku." Tangan yang mencengkeram rambut cewek itu sama sekali tidak membuatnya gemetaran. Tamu tak diundang yang datang ke apartemennya itu tidak memberi waktu untuknya sekedar mengelak.
"Itu salahmu. Anak laki-laki pertama saya yang seharusnya bisa saya andalkan sebagai penerus perusahaan saya, justru mati karena sifatmu yang kekanakan."
Cewek itu mendengus. "Anda masih punya satu anak laki-laki. Kenapa berbicara seolah Anda hanya memiliki satu anak?"
"Dia tidak bisa diandalkan. Apalagi kamu." Ucapan laki-laki setengah tua itu cukup untuk membuat cewek itu tertawa sarkas.
"Anda pikir saya mau?" Kalimat itu rupanya berhasil membuat cengkeraman di rambutnya semakin kuat.
"Kamu tidak pantas bahagia disini setelah apa yang sudah terjadi."
"Pertama, saya tidak sebahagia itu hidup disini. Kedua, kalaupun Anda membunuh saya, itu tidak akan mengubah apapun."
"Kamu benar. Ada atau tidaknya kamu di dunia ini sudah tidak berpengaruh pada saya." Laki-laki itu menghempaskannya begitu saja lalu berbalik keluar dari apartemen tersebut tanpa berbicara lagi.
"Tapi bagaimanapun juga, akan lebih baik kalau aku juga mati."
###
"Dia nggak bilang kenapa bolos?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The 'Cause We Met
Teen Fiction[SLOW UPDATE] "Jadi kalian semua minggat juga?" -Icha. "Aku capek dirumah, semua nggak ada yang peduli sama aku. Jadi lebih baik aku pergi dari rumah" -Fia. "Iya, mereka juga nggak peduli sama yang aku inginkan. Mereka nggak pernah jadi remaja mung...