"Syaratnya kalian harus mau jadi temen gue" tandas Icha.
Serempak ketiga orang didepannya memberikan respon yang sama, kedua mata melotot sambil mengeluarkan suara tertahan yang hampir saja jadi jeritan.
"Kenapa? Kalian nggak sanggup? Menurut gue itu syarat yang gampang banget loh"
"Nggak! Aku kaget aja, kirain bakal disuruh bawain tas kamu kemanapun kamu pergi"
"Kirain juga bakal disuruh siapin sarapan sama makan malam buat kamu"
"Kukira kamu suruh kita nguras bak mandi pakai sendok teh!" Yang berbicara seperti ini Febi.
"Ya kali! Gue nggak sejahat itu!" Sungut Icha tak terima.
Tiba-tiba saja Fia mengambil kembali topi hitam yang ada dikepalanya dan meletakkannya dikepala Icha, "deal! Kita temenan"
Icha tersenyum, "mau naroh topi di kepala gue aja pake jinjit segala" sindirnya pada Fia.
"Sialan! Oh, ngomong-ngomong nama gue Fia. Belum tau kan?"
"Fia? Kebagusan, sih buat lo"
"Sialan lagi!" Umpat Fia.
"Yaudah kita kerumah kamu naik apa?" Tanya Febi menengahi.
Icha berpaling pada Febi dan memegang dagunya dengan jari telunjuk, kelihatan sedang berpikir, "jalan aja gimana?"
"Oi oi!" Seru ketiga lainnya bersamaan.
Sedangkan Icha tertawa lepas mendengar protes yang banyak keluar dari mulut Hani dan Fia.
###
Nggak. Mereka nggak beneran jalan kaki sampai dirumah yang dimaksud Icha. Buat apa kereta api beroperasi jika nggak dimanfaatkan?
Dan sekarang mereka sudah berada dirumah itu. Bukan rumah yang besar, tapi memiliki taman kecil dihalamannya.
Isi didalamnya juga cukup untuk mereka. Dua kamar tidur-bisa ditempati dua orang tiap kamarnya-, dapur, kamar mandi, dan ruang tamu. Meski tak seluas rumah Fia dan Febi di Indonesia, tapi mereka cukup nyaman tinggal disana.
"Yosha! Gue sama salah satu dari kalian pergi ke supermarket buat belanja makanan sama kebutuhan lain. Dan dua lainnya beres-beres rumah" jelas Icha setelah meletakkan koper dan ranselnya.
"Aku! Aku! Aku aja yang ikut belanja" ujar Febi antusias sambil mengacungkan tangannya.
"Oke. Kalian berdua beresin rumah. Selama kita tinggal bareng, kita bagi tugas"
"Kenapa daritadi seakan kamu yang pegang kendali? Karena kamu yang punya rumah ini?" Ucap Fia tak terima.
Kedua alis Icha menyatu, sama tidak terima, "emang dari kalian ada yang becus ngatur? Lagian nggak usah permasalahin kepemilikan rumah ini kenapa, sih?"
"Jadi maksudnya kita pantesnya disuruh-suruh terus gitu?" Jawab Fia.
Icha meletakkan tas kecil yang tadi akan dibawanya, "emang lo pikir kita disini mau seneng-seneng doang gitu? Abis ini kita juga harus cari kerja sambilan, tau. Jadi sementara ini, buat menghemat uang kita, biar cuma gue sama Febi yang pergi belanja, kalau bulan depan kalian juga mau pergi belanja ya terserah"
Sedangkan Fia juga meletakkan sapu yang ia pegang, "terus kenapa kamu malah bawa Febi? Kan dia keliatan paling manja diantara kita"
"Justru itu, gue nggak yakin dia bisa beresin rumah dengan efektif, karena gue juga tau anak itu di Indo kerjaannya cuma dilayanin. Lo paham nggak, sih? Gue itu ngandelin lo buat control kerjaannya Hani. Anak itu juga kelihatannya butuh adaptasi lagi"
Fia tersentak. Sedetik kemudian menatap Febi dan Hani bergantian.
"Oke. Maaf aku lagi nggak stabil" jawab Fia pasrah.
Icha mengangguk dan mengambil kembali tasnya, "kalo gitu gue sama Febi pergi"
###
"Beras, sayur, jamur, buah, cemilan, gula, garam, ramen instan, .... " Icha mengabsen barang belanjaannya yang sepertinya lumayan banyak.
"Udah semuanya?" Tanya Febi sambil menimang sebungkus permen kenyal.
"Udah. Yuk" ucap Icha sambil menenteng dua plastik besar belanjaan.
"Kamu hapal jalan pulang?" Lagi-lagi tanya Febi yang terlihat masih bingung membaca petunjuk arah.
Icha mengangguk, "hapal, kok. Tenang aja, kita nggak bakal nyasar"
Didepan Icha dan Febi terlihat beberapa pemuda yang juga sedang berjalan sambil bergurau satu sama lain. Icha tak bisa memastikan berapa jumlah mereka karena jaraknya cukup jauh.
Tepat ketika di belokan, Icha bisa melihat salah satu dari mereka menjatuhkan sesuatu dari kantongnya. Dari jauh terlihat seperti ponsel atau dompet.
Sampai Icha ditempat barang itu jatuhpun, belum ada yang kembali mengambil barang itu sehingga Icha memilih untuk memungutnya.
"Bawain satu dulu, Feb" ujar Icha sambil menyerahkan satu kantong plastiknya pada Febi yang kemudian diterima oleh Febi.
Icha membungkuk untuk mengambil barang itu. Ternyata adalah sebuah dompet. Icha membuka dompet itu untuk menemukan siapa pemiliknya.
"Punya siapa, Cha?" Tanya Febi.
"Nggak tau, mau coba liat, siapa tau ada foto atau tanda pengenal didalamnya"
Benar saja. Didalamnya terdapat sebuah foto seorang anak kecil memakai kemeja navy(atau hitam?) sedang menatap kamera dengan tatapan tajam.
"Punya anak kecil kayaknya. Tapi tadi gue liat yang ngejatohin dompetnya itu remaja, kok" ucap Icha sambil membolak-balik dompet itu. Berharap menemukan tanda pengenal lain.
"Mungkin itu foto masa kecilnya" ujar Febi.
Icha mengangguk setuju, "masa nggak nyadar, sih, kalo dompetnya jatuh?"
"Ditunggu aja dulu disini, siapa tau orangnya nyariin" usul Febi.
"Oke, duduk situ, yuk. Sambil istirahat bentar. Capek"
Febi mengangguk dan segera mengikuti Icha menuju bangku yang terletak dipinggir jalan.
Sudah hampir satu jam mereka menunggu, tetapi tidak terlihat tanda tanda orang sedang mencari dompet. Lalu keduanya memutuskan untuk membawa dompet tersebut kerumah.
"Udahlah, besok kita cari lagi aja. Atau kalau nggak, kita bawa aja ke polisi, isinya lumayan, loh" ujar Icha.
"Iya, udah panas"
Keduanya akhirnya pulang dengan posisi Febi membawa dua kantong plastik besar, sedangkan Icha hanya mengikuti sambil menenteng dompet temuanya.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
The 'Cause We Met
Teen Fiction[SLOW UPDATE] "Jadi kalian semua minggat juga?" -Icha. "Aku capek dirumah, semua nggak ada yang peduli sama aku. Jadi lebih baik aku pergi dari rumah" -Fia. "Iya, mereka juga nggak peduli sama yang aku inginkan. Mereka nggak pernah jadi remaja mung...