PROLOG

218 24 3
                                    

Bandara Soekarno-Hatta
21 September 2019—22.40

Dua gadis berusia 17 tahun sedang berada di ruang tunggu dengan sebuah koper disamping mereka. Keduanya tampak saling mengenal dekat, namun tak saling mengobrol.

Salah satu dari mereka mengecek jam yang melingkar di tangan kirinya, "bentar lagi berangkat. Ayo"

Gadis yang lain mengangguk dan meraih kopernya. Keduanya berjalan bersama. Terlihat sangat tak bersemangat seperti kebanyakan orang yang hendak pergi ke luar negeri. Mereka punya alasan lain untuk pergi. Bukan untuk berlibur, tapi alasan mereka sama.

Di sisi lain. Seorang gadis mungil sedang bimbang dengan pilihannya untuk pergi. Lelah. Dia sudah tak kuat. Dia bukanlah puteri. Dia adalah remaja biasa. Ingin berlibur, jalan-jalan, memiliki teman tanpa diberi kriteria oleh orangtuanya.
Gadis itu mendongak, memantapkan niatnya. Ia sudah mengambil uang cash yang ia rasa cukup untuk beberapa bulan di negeri orang, sebelum seluruh kartu kreditnya diblokir oleh orangtuanya.
Lalu tak lama setelah itu, panggilan bahwa pesawat yang akan membawanya pergi sudah terdengar. Sekali lagi gadis itu memejamkan mata sambil meremas tas ranselnya. Kemudian ia melangkah. Dengan pasti untuk mencari takdir yang lain.

###

"Kamu yakin mau lanjut sekolah disana, Han? Tapi kan biaya hidup disana pasti lebih mahal. Apa kita bisa menghemat sampai kita lulus nanti?" Ujar salah satu gadis yang pergi bersama temannya tadi.

Sedangkan yang diajak bicara hanya berdecak, "Kita bisa kerja sambilan nanti disana, Fia. Emang kamu tahan sama sikap orangtua kamu yang kayak gitu? Bahkan kamu ada dirumah atau enggak pun, mereka nggak peduli kan?"

Fia menciut. Ucapan sahabatnya itu ada benarnya. Orangtuanya tak pernah peduli. Fia hanya tumbuh bersama tumpukan uang serta barang-barang mewah dan bermerek yang tak pernah ia inginkan.

"Nggak usah dipikirin. Yang penting kalo kita pergi ke luar negeri, orangtua kita bakal susah nyari. Atau mungkin emang mereka nggak mau repot-repot nyariin kita" tandas Hani lagi.

Sekarang keduanya sedang berada didalam pesawat. Kali pertama untuk Fia pergi ke luar negeri tanpa orangtua. Ia harus mandiri. Ia memiliki sahabatnya. Ia tak akan sendirian. Dan ia tak akan bisa pulang sendirian tanpa sahabatnya itu.

"Makasih ya, Han. Udah mau jadi sahabatku"

Hani mengangguk. Diam-diam bersyukur setidaknya masih ada yang ia miliki sampai saat ini, dan mungkin selamanya.

Beberapa waktu keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Hani, dengan uang yang sangat pas-pasan, akankah memenuhi kebetuhannya sampai ia mendapatkan pekerjaan sambilan? Fia, meski logikanya mendukung penuh keputusannya untuk pergi dari rumah, tapi hatinya masih bimbang dengan risiko yang akan ditimbulkan akibat pilihannya itu.

"Aku ke kamar mandi dulu ya, Han. Pusing aku lama-lama" pamit Fia sambil menoel lengan Hani yang masih sibuk melamun.

Setelah mendapat anggukan dari Hani, Fia segera keluar dari kursinya, berjalan menuju belakang, tempat toilet berada.

Sayangnya ketika Fia sampai toilet, rupanya toilet itu sedamg digunakan. Dengan sangat terpaksa Fia harus menunggu didepan pintu toilet itu.

1 menit—
3 menit—
10 menit—

Sampai limabelas menitpun belum ada tanda-tanda bahwa orang yang berada didalam toilet tersebut hendak keluar. Fia yang sedikit tak tahan mulai mengetuk pelan pintu toilet, berharap mendapat jawaban.

"Ada orang didalam? Lama banget?"

Pintu akhirnya dibuka. Muncul seorang gadis seusianya yang tingginya sedikit lebih pendek dari Fia. Penampilannya kacau. Bola matanya merah dan berair. Rambutnya tergerai acak-acakan. Sangat tak enak dipandang.

"Maaf" ujarnya.

Fia terlonjak. Ia terlalu memperhatikan penampilan gadis didepannya itu sampai terkejut ketika mendengar suara serak yang berasal dari orang yang diperhatikan.

"Oh, nggak papa. Kamu kenapa?" Tanya Fia.

Gadis tadi tersenyum. Manis sebenarnya. Matanya yang sipit terlihat tinggal segaris tipis, "aku lagi kacau aja. Maaf ya bikin kamu nunggu lama" ujarnya kemudian berlalu melewati Fia.

Fia hanya mengendikkan bahu dan masuk kedalam toilet yang sekarang sudah kosong. Meski masih sedikit kepikiran dengan gadis tadi, Fia lebih memilih mengabaikannya.

Saat Fia kembali menuju kursinya. Ia melihat gadis yang ditemui di toilet tadi. Tepat disamping kursi Fia dan Hani, hanya berbeda satu kursi kosong disamping Fia.

"Hei" sapa Fia mencoba ramah.

Gadis tadi hanya melihat Fia dengan tatapan bingung, "ada apa ya?"

Fia tersenyum, "kamu yang di toilet tadi, 'kan?"

Gadis itu mengangguk.

"Kamu sendirian?" Tanya Fia lagi.

"Aku kabur dari rumah. Niatnya mau kerumah paman" jawab gadis itu.

Fia terbelalak. Benarkah? Mereka memiliki tujuan yang sama, "beneran? Sama dong. Aku sama temen aku ini juga kabur dari rumah. Dan kita pergi cuma modal nekat"

"Hah? Kenapa? Kabur ajak-ajak temen?" Tanya gadis tadi tak percaya.

Fia mengangguk, "kita sama-sama muak sama keluarga kita. Udah lama niat mau kabur, tapi baru kesampaian sekarang. Omong-omong, nama kamu siapa?"

"Aku Febi. Kalian disana nanti mau tinggal dimana?"

"Mungkin sewa apartemen atau beli rumah kecil disana. Yang jelas nanti kita masih mau ngelanjutin sekolah" jelas Fia semangat.

Febi tampak sedang menimbang kata-kata yang akan diucapkannya, "umm ... Boleh aku tinggal bareng kalian aja? Tenang aja, nanti aku bakal ikut patungan buat beli rumah atau sewa apart"

Fia berbinar, senyumnya melebar, "Tentu. Kita bisa cari rumah bareng nanti. Iya kan, Han?"

Sedangkan Hani daritadi masih setia dengan lamunannya yang seakan tak ada hentinya.

Terpaksa Fia harus menoel pipi Hani dengan keras sampai kepalanya hampir oleng, "Sialan! Apa sih?"

"Kita dapet temen patungan rumah" ujar Fia.

Hani menyatukan kedua alisnya, "siapa?"

"Tadaa~" heboh Fia sambil sedikit memundurkan duduknya agar Hani dapat melihat siapa yang duduk disampingnya.

"Hai! Aku Febi. Salam kenal!"

The 'Cause We Met Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang